Dalil Tradisi Tasyakuran Haji

LADUNI.ID, Jakarta – Bulan Dzul Qo’dah merupakan salah satu bulan yang disebut sebagai bulan mulia atau Asyhurul Hurum. Bulan ini menjadi momentum bagi orang yang akan berangkat haji untuk menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dari berbagai persiapan yang dilakukan oleh calon jamaah haji, di antaranya adalah melaksanakan tradisi tasyakuran. Tradisi ini dilakukan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

Tasyakuran haji ini merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Nahdliyin. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum berangkat haji maupun setelah pulang dari ibadah haji. Di kalangan masyarakat Nahdliyin tradisi ini telah dilakukan turun temurun tanpa ada yang mengingkarinya. Tapi tidak jarang orang yang mempertanyakan tradisi ini. Mungkin bukan karena mengingkari, tapi lebih pada ketidaktahuan atau keingintahuan landasan atau dasar dalil yang menganjurkan.

Lalu, bagaimanakah pandangan hukum islam mengenai tradisi ini?

Terdapat sejumlah keterangan yang bisa menjadi dalil diperbolehkannya melaksanakan tasyakuran haji, atau bahkan justru dianjurkan dan disunnahkan.

Dalam istilah fiqih terdapat satu istilah yang bisa dianggap mirip dengan tradisi ini, yakni naqi’ah. Istilah ini merupakan suatau kebiasaan  yang dilakukan untuk menyambut kedatangan seorang musafir. Terlebih lagi orang yang datang dari bepergian jauh seperti ibadah haji. Dalam prakteknya, naqi’ah bisa diadakan oleh musafir itu sendiri maupun oleh masyarakat yang menyambutnya. Secara substansi naqi’ah ini sama halnya dengan walimah. Atau perayaan yang diadakan dengan menghidangkan makanan untuk jamuannya.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab menerangkan;

تُسْتَحَبُّ النَّقِيْعَةُ وَهِيَ طَعَامٌ يُعْمَلُ لِقُدُوْمِ الْمُسَافِرِ وَيُطْلَقُ عَلَى مَا يَعْمَلُهُ الْمُسَافِرُ الْقَادِمُ وَعَلَى مَا يَعْمَلُهُ غَيْرُهُ لَهُ

Penjelasan: Disunnahkan mengadakan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau oleh orang lain yang menyambut kedatangan musafir.

Selaras dengan keterangan ini, didukung pula informasi dalam sebuah Hadis Bukhari no. 2859, yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Abdullah, sebagaimana berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا أَوْ بَقَرَةً

“Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., Bahwasannya ketika Rasulullah SAW. datang ke Madinah setelah selesai menunaikan ibadah hajinya, beliau menyembelih kambing atau sapi.”

Dalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah menyembelih kambing atau sapi setelah menunaikan ibadah haji. Rasulullah memang tidak menganjurkan secara langsung, tapi melakukan secara langsung suatu perbuatan, yang bisa untuk dilakukan juga oleh para sahabatnya. Demikian pula bagi umat Islam secara umum, dapat melakukan kebiasaan baik ini.

Meski keterangan di dalam Hadis ini, Rasulullah SAW menyembelih kambing atau sapi setelah melaksanakan ibadah haji, bukan berarti lantas sebelum berangkat haji tidak diperbolehkan. Tentu saja, sama diperbolehkannya, sebab, baik tasyakuran dilakukan sebelum ataupun sesudah ini mempunyai alasan yang sama, yakni dalam rangka bersyukur kepada Allah SWT.

Tradisi tasyakuran haji ini, hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, toh secara substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain.

Pada prinsipnya, dalam fiqih itu terdapat satu keterangan “Al-‘Ibrah bil Musamma, la bil Ismi”, yakni bahwa yang perlu diperhatikan itu adalah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan tidak lain adalah isi dan substansinya. Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, tentu saja hal itu diperbolehkan, sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW.

Terdapat sebuah keterangan dalam kitab Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 1, hlm. 203, (Maktabah Syamilah).

وَيَرَى الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ أَنَّهَا مَنْدُوْبَةٌ وَاسْتَدَلُّوْا لِذَالِكَ بِحَدِيْثِ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ ” أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا أَوْبَقَرَةً”. وَلَمْ يُفَرِّقْ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ فِي مُدَّةِ السَّفَرِ الَّذِيْ يَعْمَلُ لِلْقَادِمِ مِنْهُ النَّقِيْعَةَ، بَلْ تُصْنَعُ النَّقِيْعَةُ سَوَاءٌ كَانَ السَّفَرُ طَوِيْلًا أَوْ قَصِيْرًا. وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ النَّقِيْعَةَ تُسْتَحَبُّ لِلْقَادِمِ مِنَ السَّفَرِ الطَّوِيْلِ، لِقَضَاءِ الْعُرْفِ بِذَالِكَ سَوَاءٌ عَمِلَهُ الْمُسَافِرُ الْقَادِمُ نَفْسَهُ، أَوْ عَمِلَهُ غَيْرُهُ. أَمَّا مَنْ غَابَ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا أَوْ غَابَ أَيَّامًا يَسِيْرَةً إِلَى بَعْضِ النَّوَاحِي الْقَرِيْبَةِ فَكَالْحَاضِرِ فَلَا تُسْتَحَبُّ النَّقِيْعَةُ فِي حَقِّهِ

Penjelasan: Ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat; sesungguhnya menyembelih binatang untuk menjamu tamu itu hukumya disunnahkah. Mereka mengambil dallil tentang kesunnahan tersebut dengan Hadis Jabir r.a., Bahwasannya ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah setelah selesai menunaikan ibadah hajinya, lebih menyembelih kambing atau sapi.” Dan mayoritas ulama’ fiqih tidak membedakan terhadap waktu yang dibuat perjalanan oleh orang yang baru datang dari bepergiannya itu sendiri, bahkan menyembelih binatang jamuan tersebut tetap disunnahkan, baik dalam bepergian jarak jauh atau jarak pendek. Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iyyah, bahwa menyembelih binatang jamuan itu disunnahkan terhadap orang yang baru datang dari perjalanan yang jauh, karena untuk memenuhi adat keumumannya, baik itu dilakukan oleh musafir yang baru datang itu sendiri, atau orang lain. Sedangkan seseorang yang bepergian sehari, atau beberapa hari, atau bepergian hanya beberapa hari saja, ke daerah yang dekat dengan daerahnya sendiri, maka hukumnya seperti orang yang berada di rumah. Jadi ia tidak disunnagkan menyembelih binatang untuk jamuan.

Keterangan lebih spesifik mengenai tradisi ini, terdapat dalam kitab Al-Fiqhu Al-Wadhih minal Kitab was Sunnah ‘alal Madzhab Al-Arba’ah karya Muhammad Bakar Ismail. Dalam kitab ini dijelaskan secara tegas tentang dianjurkannya mengadakan Walimatul Hajj. Keterangannya sebagaimana berikut;

يُسْتَحَبُّ لِلْحَاجِّ بَعْدَ رُجُوْعِهِ بَلَدَهُ أَنْ يَنْحَرَ جَمَلًا أَوْ بَقَرَةً أَوْ يُذْبِحُ شَاةً لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ وَالْجِيْرَانِ وَالْإِخْوَانِ تَقَرُّبًا إِلَى الله عَزَّ وَجَلَّ كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم. اهـ

Penjelasan: Disunnahkan bagi orang yang baru pulang Haji untuk menyembelih unta, sapi atau menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada para fakir miskin, tetangga, sanak kerabat, saudara, serta relasi. (Hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah SWT.

Dari uraian keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa tradisi tasyakuran haji, baik menjelang atau setelah menunaikannya adalah termasuk dalam perbuatan yang baik, dianjuran, bahkan disunnahkan. Tapi bukan berarti pula tradisi ini menjadi sebuah keharusan. Yang jelas dalam rangka mewujudkan rasa syukur itu beragam caranya. Dan salah satunya adalah dengan tradisi tasyakuran itu. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Deny Romdhoni

https://www.laduni.id/post/read/517332/dalil-tradisi-tasyakuran-haji.html