Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Baijuri berpendapat bahwa hukum berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak memiliki klasifikasi khusus. Da’i hanya bertanggung jawab atas penyampaian bukan pada penerimaan seseorang atas apa yang ia dakwahkan. Oleh karena itu, terlepas dari adanya beberapa ulama yang berpendapat bahwa amar makruf dan nahi munkar tidak dapat serta-merta dilaksanakan oleh semua orang, namun urgensi dakwah tetap dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan kehidupan bersama yang baik.
Setiap proses dakwah di setiap daerah pasti mendapati tantangan dan persoalan yang berbeda-beda. Begitu pula dakwah Islam di desa Samir, kecamatan Ngunut, kabupaten Tulungagung. Desa Samir merupakan desa yang sudah memiliki fasilitas tercukupi untuk kegiatan masyarakatnya, fasilitas tersebut di-handle oleh beberapa sumber, antara lain dari warisan leluhur, berupa budaya dan nilai-nilai sosial, dana desa yang jumlahnya sangat cukup untuk pembangunan desa. Sebagian besar masyarakat Samir berprofesi sebagai petani dan Islam sebagai mayoritas. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa persoalan dakwah timbul dari aspek media, sarana dan prasarana.
Namun, sosok pemeran pada pos-pos strategis itu merupakan masyarakat dengan beragam usia. Artinya mereka memiliki tingkat pemahaman yang berbeda. Pemahaman berbeda tentang bagaimana memosisikan Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat, seharusnya bisa dikolaborasikan secara proporsional. Apabila di dalam musyawarah secara tatap muka saja masih terdapat persengketaan, maka dapat diartikan masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki pada aspek personal.
Persoalan dakwah di desa Samir adalah kurangnya kesepahaman tentang pentingnya dakwah Islam secara sosial. Faktanya dakwah Islam secara sosial masih tergolong lemah adalah: adanya perlakuan sosial terhadap ahli maksiat yang seringkali masih tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Mereka yang terlanjur berbuat maksiat kesulitan mendapatkan perlakuan sosial yang baik dari masyarakat. Padahal, sesungguhnya agama Islam justru mengajarkan yang sebaliknya, bahwasannya ahli maksiat pun harus diperlakukan dengan baik dan proporsional dengan harapan mereka mau bertaubat. Sayangnya, tidak semua elemen masyarakat memiliki pemahaman demikian, bahkan sebaliknya.
Persoalan dakwah di Samir muncul karena minimnya intensitas dan kualitas komunkasi antara golongan tua dan golongan muda. Sejauh ini, komunikasi antara golongan tua dan golongan muda hanya terbatas pada komunikasi sebagai formalitas etika sosial saja, bukan sebagai perangkat potensial yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mencapai kemaslahatan bersama, terutama untuk kelangsungan dakwah Islamiyah.
Sasaran dakwah di desa Samir adalah semua warga yang ada di desa tersebut. Lebih spesifiknya, objek dakwah di desa tersebut merupakan individu yang memiliki kebutuhan iman dan Islam. Karena iman manusia senantiasa bertambah dan berkurang, maka urgensi dakwah menjadi semakin mendesak di setiap waktu dan tempat. Materi dakwah yang sesuai untuk masyarakat desa Samir adalah materi Islam Rahmatan lil ‘Alamin, yakni islam yang berkarakter tawasuth (jalan tengah), tawazun (tolong-menolong dalam kebaikan), I’tidal (keadilan) dan tasamuh (toleransi). Nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan satu sama lain secara proporsional untuk menjawab persoalan dakwah yang sudah dipetakan.
Fenomena yang ada di desa Samir ini dapat diekstraksi dan kemudian diformulasikan dengan ide Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik berusaha mentransformasikan realitas yang ada pada masyarakat untuk mencapai cita-cita masyarakat. Ide tersebut kemudian menelurkan tiga nilai penting sebagai dasar pijakan sekaligus sebagai unsur pembentuk karakter paradigmatiknya, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi.
Humanisasi, yaitu penumbuhan rasa perikemanusiaan. Secara sederhana dapat difahami bahwa bagaimana pun keadaannya, manusia seharusnya tetap diperlakukan secara manusiawi oleh manusia yang lain. Bagaimana pun, satu individu tidak akan mempertanggungjawabkan amal individu yang lain, amal ibadah satu individu tidak dapat diremehkan oleh individu yang lain, sehingga tidak ada alasan tidak memperlakukan siapapun dengan tidak manusiawi. Singkatnya, masyarakat harus berusaha memanusiakan manusia.
Liberasi, dimaknai sebagai tindakan membebaskan manusia dari keterbelengguan (sosial, ekonomi, pendidikan). Inilah tantangan dakwah yang menarik untuk ditindak lanjuti. Masyarakat sebagai objek dakwah idealnya memang berada dalam kondisi bebas dari segala bentuk keterbelengguan yang membatasi gerakan mereka dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Transendensi, tidak dapat bertindak sendiri, harus ada kawalan dari Allah SWT. Oleh karena itu, dalam setiap gerakan dalam berdakwah hendaklah dilandasi dengan keikhlasan mengharap ridha Allah SWT saja, bukan yang lain.
Ketiga nilai tersebut dapat diserap menjadi bahan konstruksi metode yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa Samir. Misalnya, managemen dakwah dengan menggunakan media-media dan sarana serta prasarana yang dapat mendukung kegiatan dakwah Islam dengan baik akan memberikan efektifitas dan efisiensi kegiatan dakwah bagi masyarakat desa Samir.
Media dakwah yang digunakan para da’i merupakan media mainstream, seperti teknologi dalam bentuk perangkat-perangkat digital. Namun, media yang terbukti lebih efektif adalah akhlak. Berdakwah dengan budi pekerti menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat di pedesaan. Mereka akan mudah mengenali Islam sebagai agama yang mengajarkan kebaikan dan agama yang mampu memberikan solusi bagi setiap permasalahan dengan baik.
Maka dakwah Islam di desa Samir, da’i sebagai pemeran utama dapat mengintegrasikan teori ISP dengan menyesuaikan pada kultur dan kondisi masyarakat. Adapun media, sarana dan prasarana yang sudah lengkap dapat dimanfaatkan sebagai material pendukung kegiatan dakwah Islam.