Seiring luasnya jangkauan pergaulan, citra agama Islam yang damai mendadak pudar. Sewaktu kecil, di lingkungan rumah saya menerapkan metode pengajaran mirip madrasah atau pondok pesantren. Belajar berbagai kitab dan bidang ilmu untuk membekali santri-santrinya. Pengaruhnya adalah pandangan mengenai agama Islam yang damai dan penuh kasih sayang.
Meledaknya dunia media sosial seakan meruntuhkan persepsi dangkal mengenai agama yang toleran. Bukan hanya kepada mereka yang berbeda agama, sesama muslim pun saling hujat mempertahankan argumennya. Banyak amaliah sesama muslim yang dibidahkan dan disesatkan, kemudian dibalas dengan cacian takfiri terhadap muslim lainnya.
Kalau dulu belajar kitab tarikh (sejarah Nabi Muhammad) mengenai perang, sekarang pun dalam kondisi serupa tapi konteksnya perang argumen, khususnya di media sosial. Kondisi negara yang mayoritas muslim, menjadikan isu agama riskan untuk diperdebatkan. Bahkan menjadi hal yang sensitif bagi orang-orang yang memilih menghindar dari arena perdebatan menyoal ikhtilafiyah.
Aliran agama Islam tertentu juga bercita-cita terus menyebarkan dan memperluas basis mazhab ke berbagai sektor pendidikan formal, perkantoran, lembaga/instansi dan ruang-ruang publik. Mengisi kajian, berdiskusi, dan membentuk komunitas atau organisasi untuk menguatkan pondasi kelompok yang mempunyai kesamaan visi-misi.
Perbedaan mengenai cara pandang Islam juga berbeda antara kelompok satu dengan yang lain. Satu sisi menghendaki adanya toleransi yang kemudian dituduh liberal, di sisi lain berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar yang kemudian dianggap intoleran, radikal, dan anarkis. Sesama muslim terpecah belah mengenai cara pandang dan interpretasi agama.
Setelah itu unsur politik masuk memanfaatkan sikap fanatisme agama untuk mendulang suara di pemilu. Politik identitas adalah sebuah keniscayaan dalam negeri yang menganut asas demokrasi. Mengedepankan perbedaan dan risiko perpecahan. Simbol dan label-label agama mulai bermunculan di platform-platform digital, khususnya media sosial.
Jangkauan pergaulan yang luas memungkinkan untuk bersosialisasi dengan berbagai orang dengan latar belakang dan karakter berbeda-beda. Salah satunya ketika mengenal dan bersahabat dengan kaum minoritas. Melihat respon dan menanyai pandangannya mengenai Islam.
Mayoritas teman nonmuslim akan sungkan membahas hal-hal yang berkaitan dengan agama. Apalagi ketika mengenalkan diri sebagai Islam yang taat. Fenomena itu patut dimaklumi ketika gerakan hijrah muslim milenial menghendaki adanya kampanye simbolisasi agama dalam setiap postingannya. Nonmuslim dipaksa mengonsumsi petuah-petuah islami, di sisi lain mereka sungkan untuk mengkampanyekan agamanya di media sosial.
Sikap skeptis menghantui nonmuslim untuk berdakwah karena merasa minoritas dan risiko dikucilkan. Mereka merasa diri seperti musuh yang siap dibunuh kapanpun dan di manapun. Tidak memiliki ruang untuk menyampaikan opini selain berdiam diri menerima umpatan dari muslim radikal. Salah-salah mereka tergelincir dan dipenjara dengan tuduhan penghinaan atau penistaan agama.
Muslim yang heboh aksi bela agama kurang memiliki kepekaan terhadap agama minoritas yang terbiasa agamanya dinistakan oleh oknum-oknum yang memakai simbol agama. Memusuhi sesembahan agama minoritas, menentang adat dan ritual agama selain Islam, dan melabeli kesesatan atau kekafiran tanpa rasa kemanusiaan.
Tidak ada yang berani melaporkan kasus penghinaan agama minoritas karena menyadari risiko tinggal di negara yang mayoritas muslim dan beberapa di antaranya terkesan anarki. Sehingga citra Islam yang dilihat nonmuslim adalah sebagai agama yang mudah tersinggung, anarkis, dan menyukai aksi terorisme. Tidak ada lagi kesan Islam yang cinta damai seperti kisah-kisah Rasulullah.
Ketika mengenalkan diri sebagai seorang muslim, respon dari kawan nonmuslim akan sedikit menjauh dan membatasi diri memperbincangkan sesuatu yang berkaitan dengan agama. Misalpun dipaksa, mereka (nonmuslim) cenderung pasif menjadi pendengar daripada berbicara yang berdampak pada kecanggungan dan ketersinggungan.
Namun ketika mengenalkan diri sebagai nahdliyin (read; sebutan orang yang ikut jamaah Nahdlatul Ulama), pandangan mereka berubah. Obrolan lebih cair dan sesekali membercandai agama. Sosok Gus Dur biasanya dijadikan bahan diskusi untuk melihat persamaan dan mengurangi perselisihan akibat perbedaan. Bagi nonmuslim, NU seolah bagian tersendiri dan terpisah dari Islam. Atau mereka menganggap NU adalah rumah bagi semua agama dan golongan. Menjadi tempat curhat dan menyampaikan pandangan tanpa batas-batas ketersinggungan.
Patut dimaklumi ketika banser atau pasukan keamanan NU selalu siap siaga menjaga peringatan hari raya agama lain. NU merelakan diri dihujat sesama muslim dengan tuduhan kafir dan sesat asalkan toleransi tetap terjaga. Memelihara kebhinekaan agar tidak terjebak konflik seperti di Timur Tengah. Apalagi sosok Gus Dur (mantan ketua PBNU) yang dikenal sebagai bapak bangsa karena sikapnya melindungi kaum minoritas.
Meskipun NU adalah bagian dari agama Islam, namun citra nonmuslim terhadap Islam saat ini dianggap tidak mewakili cara berpikir nahdliyin. Islam tetap dianggap sebagai ancaman bagi mereka, sedangkan NU adalah wadah untuk berkeluh kesah. Bahkan nonmuslim menilai dalam sikap politik, “Islam” dianggap berlawan dengan NU yang menambah kesan bahwa NU bukan bagian dari “Islam”.
Citra Islam yang anarkisme dan penuh umpatan terselamatkan oleh wajah tokoh-tokoh NU dan jamaahnya yang terus menebarkan kasih sayang terhadap semua orang, termasuk nonmuslim. Tidak ada sekat, semua saudara. Selama NU masih berdiri kokoh dari terpaan Islam konservatif, Indonesia tetap akan aman dari perpecahan dan peperangan saudara.