Cerpen: Wajah Cuaca

Ramli Lahaping

Oleh Ramli Lahaping*)

RumahBaca.id – Damin kelelahan dan beristirahat di tengah kebunnya. Ia telah selesai menguras tenaga untuk menyelamatkan tanaman ladanya. Ia sudah bolak-balik memanggul air dari sungai untuk menyirami tanaman penghidupannya itu di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Ia sungguh tidak ingin kalau sumber pendapatannya tersebut meranggas dan mati.

Atas perasaan waswasnya, seperti biasa, Damin berharap keajaiban segera datang. Dengan penuh permohonan, ia memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga hujan deras segera turun. Pasalnya, ia merasa tak tahan lagi untuk mengangkut air yang berbobot berat secara terus-menerus. Badannya telah didera kesakitan di sana-sini, dan ia semakin tidak berdaya.

Kekhawatiran Damin terhadap nasib tanaman ladanya, belakangan, semakin menjadi-jadi. Itu karena istri dan anaknya terus meminta perihal yang membutuhkan ongkos ekstra. Istrinya yang modis ingin membeli pakaian dan perhiasan mewah untuk mengimbangi ibu-ibu selingkungannya yang suka pamer. Sementara putranya yang duduk di bangku kelas II SMP telah lama meminta motor baru untuk mengganti motor bututnya.

“Pokoknya, aku ingin motor baru!” tegas sang anak untuk kesekian kalinya, tiga bulan yang lalu, saat ia sedang beristirahat di tengah kerjanya memetik buah lada.

Damin yang memang sangat memanjakan anak semata wayangnya itu, akhirnya kelimpungan. Ia sungguh ingin membelikan motor baru untuk sang anak, tetapi ia jelas tak punya dana. “Aku belum punya uang yang cukup, Nak. Kau tahu sendiri kalau sekarang panen lada kita tak sebanyak dahulu.”

Sang anak pun tampak begitu kecewa.

“Bersabarlah, Nak. Motormu yang sekarang kan masih sangat baik untuk sekedar engkau gunakan bersekolah,” kilah Damin.

“Sangat baik bagaimana? Motor tua itu sudah punya banyak masalah yang membahayakan. Entah gasnya, remnya, atau pembakarannya. Aku bahkan sudah beberapa kali mendorongnya di tengah jalan karena mogok,” tentang sang anak.

Damin pun mendengkus. “Kalau begitu, bersabarlah sementara waktu. Aku janji, kalau uang sudah cukup, aku akan membelikan motor yang baru untukmu.”

Sang anak terdiam dan murung saja menyikapi janji-janjinya yang terus berulang.

Tetapi memang nahas. Atas segenap keperluannya, Damin tak mengandalkan apa-apa selain ladanya. Karena itulah, ia sangat mendambakan turunnya hujan yang akan kembali menyuburkan tanamannya itu. Jikalau demikian, ia tentu masih punya harapan untuk memanen buah lada yang melimpah dan mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi permintaan istri dan anaknya.

Beberapa waktu kemudian, di tengah pengharapannya yang mendalam atas hujan, tiba-tiba, suasana alam menjadi redup. Detik demi detik, langit tampak semakin suram. Maka dengan penuh kekhidmatan, ia pun terus memanjatkan doa, semoga mendung kali ini benar-benar akan membuahkan hujan yang lebat, sehingga rezekinya kembali mengalir.

Sampai akhirnya, menjelang tengah hari, Damin pun melangkah pulang ke rumahnya, sembari membawa harapan yang besar. Seiring langkah-langkahnya, ia terus saja memohon berkah kehidupan dari langit. Ia berdoa semoga hujan segera turun dan menyudahi penantiannya yang panjang, yang juga merupakan penantian para warga desa yang lain.

Dan benarlah, permintaannya tekabul. Di tengah perjalanan pulang, hujan deras akhirnya turun. Ia pun menjadi sangat senang dan tak lagi memedulikan butiran-butiran air yang membasahi tubuhnya. Ia merasa patut merayakan kegembiraannya itu dengan bermain basah-basahan. Ia seolah ingin meluruhkan segenap kerinduannya kepada hujan.

Hingga akhirnya, beberapa saat berselang, ia pun sampai di rumahnya. Ia lantas melucuti bajunya, kemudian membuka gembok pintu dan melangkah masuk. Dengan langkah cepat, ia lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Dalam sekian waktu, ia pun mengguyur dan membersihkan tubuhnya dengan beberapa gayung air, hingga ia keluar dengan perasaan segar.

Seketika setelah mandi, Damin pun tersenyum-senyum sendiri membayangkan keadaan di kemudian hari, ketika tanaman ladanya kembali subur, dan ia bisa mewujudkan keinginan anak dan istrinya. Jika demikian, ia akan kembali dibangga-banggakan sebagai suami dan ayah yang andal, hingga suasana rumahnya akan kembali menghangat.

Namun di saat-saat ini, ia sepertinya masih harus bersabar. Pasalnya, sejenak berselang, ia kembali menjumpai istrinya dengan wajah muram sepulang dari pasar. Sang istri lantas membuang beberapa pakaian ke dalam baskom yang berada di teras kamar mandi, kemudian menuangkan air dan sabun cuci ke dalamnya dengan sikap ogah-ogahan.

“Ibu kenapa?” tanya Damin, penasaran.

Sang istri lantas melenguh, kemudian menatap berang kepadanya. “Kanapa sih Bapak tidak perhatian sekali? Jelas-jelas Bapak di rumah, tetapi Bapak sama sekali tak tergerak untuk mengangkat jemuran di halaman samping sebelum hujan turun,” tuturnya, dengan nada marah.

Seketika, Damin pun memahami suasana hati sang istri. “Tetapi aku juga baru datang, Bu. Aku baru pulang dari kebun. Aku sampai di rumah setelah hujan turun,” balasnya, demi pemakluman.

Sang istri malah melengos. “Ya, tetapi kalau begitu, seharusnya Bapak buru-buru pulang ke rumah saat langit masih mendung. Kan jarak dari kebun ke rumah lebih dekat daripada jarak dari pasar ke rumah. Apalagi, pagi tadi, Bapak lihat sendiri kalau aku mencuci dan menjemur pakaian. Bapak seharusnya mengerti,” dakwa sang istri, kemudian mendengkus keras. “Kalau sudah begini, kan, terpaksa harus direndam lagi dengan pewangi, agar tidak bau apek.”

Damin pun terdiam saja menerima penyalahan sang istri.

“Ah, kemungkinan besar aku tak akan ikut kondangan besok. Baju pestaku ini pasti belum kering untuk aku kenakan,” keluh sang istri, dengan wajah murung, menyinggung pesta pernikahan seorang warga desa.
“Kalau bagitu, maafkan aku, Bu,” ujar Damin, sebagaimana sikapnya yang senantiasa mengalah setiap kali beradu kata dengan sang istri.

Tetapi sang istri tampak tak memedulikan ungkapan penyesalannya itu. Dengan jengkel, sang istri pun menyalahkan keadaan, “Ah, kenapa juga langit tak bersahabat denganku hari ini? Kenapa hujan turun tiba-tiba? Benar-benar sial!” keluhnya.

Seketika pula, Damin tersinggung mendengar serapahan sang istri untuk hujan yang menurutnya mesti dianggap sebagai rahmat. Apalagi, hujan kali ini merupakan perwujudan dari doa-doanya yang panjang. “Jangan menyalahkan hujan, Bu. Hujan itu adalah anugerah dari Tuhan. Kita seharusnya bersyukur kalau hujan turun. Apalagi, Ibu tahu sendiri kalau tanaman lada kita terancam mati karena musim kemarau yang berkepanjangan.”

“Tetapi kan pakaian pestaku tidak jadi kering karena hujan!” tanggap sang istri, emosional dan terkesan egois.

“Sabar, Bu. Kan, besok pasti kering juga,” nasihat Damin.

“Ya, syukur-syukur kalau hari terik saat pagi-pagi. Tetapi kalau hujan turun lagi, bagaimana? Atau pakaianku ini baru kering setelah pesta pernikahan, apa gunanya?” sergah sang istri, solot.

Damin pun mendengkus saja dan tak lagi membalas. Ia merasa tak akan bisa menyadarkan sang istri yang masih larut dalam amarahnya. Karena itu, ia pun memilih pergi dan menghindari perdebatan perihal arti hujan. Ia lantas masuk ke dalam kamar untuk mengenakan pakaian demi menghangatkan tubuhnya.

Sesaat berselang, ia kemudian duduk tenang di ruang keluarga, sembari menatap bahagia pada bulir-bulir hujan yang terus berjatuhan. Ia pun tak henti-hentinya membatinkan kesyukuran, sebab hujan deras itu akan menyelamatkan tanaman ladanya. Ia yakin bahwa air telah meresap baik ke bagian akar tanamannya itu, sehingga ia tak perlu lagi mengangangkut air siraman dari sungai.

Tetapi sang istri, tampak belum juga menafsir hujan sebagai karunia penuh berkah. Di sisi belakangannya, sang istri tampak berkabung saja dalam kekalutan karena perkara hujan dan jemurannya. Sang istri tampak memilah-milah koleksi pakaian dari dalam lemari, seperti berusaha untuk mendapatkan pakaian pengganti yang cocok untuk ia kenakan ke pesta esok hari, jika pakaian pesta pilihannya benar-benar tidak kering.

Sesaat kemudian, di tengah reaksinya dan reaksi sang istri yang berbeda perihal hujan, tiba-tiba, terdengarlah ketukan dan ucapan salam dari daun pintu utama.

Seketika pula, istrinya bergegas menyambut tamu.

Akhirnya, Damin pun melihat seorang pemuda, tetangganya, yang tinggal agak jauh dari rumahnya. Tanpa sangkaan apa-apa, ia pun turut menghampiri sang lelaki yang mengenakan jas hujan itu, yang tampak berbincang serius dengan istrinya. “Ada apa?” tanyanya, penasaran.

Sang lelaki pun menjawab segan dan ragu-ragu, “Anu, Pak. Hilman, anak Bapak, kecelakaan di jalan menurun, di dekat kantor desa.”

Sontak, Damin terkejut setengah mati. Begitu pula istrinya.

“Bagimana bisa?” selidik Damin.

“Sepertinya, ban motornya selip karena jalanan licin setelah hujan, Pak,” taksir sang lelaki.

Seketika pula, Damin kebingungan untuk menyalahkan siapa atau apa atas kenyataan itu.
Istrinya pun tampak sangat khawatir. “Bagaimana keadaannya?”

“Dia tampak baik-baik saja, Bu. Tetapi tangan, kaki, dan pelipisnya, terluka,” terang sang lelaki pembawa kabar.

“Di mana dia sekarang?” tanya Damin.

“Di Puskesmas, Pak,” jawab sang lelaki.

Akhirnya, dengan langkah cepat, Damin dan istrinya bergegas menjenguk sang anak.***

*) Ramli Lahaping, bloger (sarubanglahaping.blogspot.com), tinggal di Kota Makassar. Bisa dihubungi melalui Twitter: @ramli_eksepsi.

Bagikan tulisan ke: