Cerai Itu Boleh, Tapi…

LADUNI.ID, Jakarta – Talak atau perceraian adalah terlepasnya ikatan perkawinan antara suami-istri, baik karena ungkapan talak sang suami, ungkapan tak disadarinya, maupun karena gugatan sang istri melalui meja pengadilan. Meski talak merupakan perkara yang diperbolehkan dalam syariat, tapi selama perkawinan masih bisa dipertahankan, seharusnya ia dihindari. Karena, tak sedikit dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian, baik bagi keluarga, anak-anak, maupun masyarakat secara umum.

Hanya saja, jika mahligai rumah tangga sudah tak mungkin dipertahankan, jalan damai antara suami-istri sudah mengalami kebuntuan, kerugian keduanya atau salah satunya diperkirakan akan lebih besar, maka jalan terakhir adalah talak atau perceraian. Kendati demikian, talak bukan berarti pemutus tali perkawinan sekaligus. Sebab, ia memiliki beberapa tingkatan yang memungkinkan seorang suami bisa rujuk kepada istri yang diceraikannya.

Baca juga: Perkataan Suami Yang Berkaitan Dengan Ta’liq Thalaq

Layaknya sebuah akad, talak juga memiliki sejumlah syarat dan ketentuan, sehingga ia menjadi sah atau jatuh kendati tak disadari orang yang menjatuhkannya. Para ulama fiqih melihat syarat dan ketentuan talak ini dari tiga aspek. Pertama, dari aspek yang menjatuhkan, yaitu suami. Kedua, dari aspek yang ditalak, yakni istri. Ketiga, dari aspek ungkapan atau redaksi talak.

Pertama, yang menjatuhkan talak adalah suami yang sah, baligh, berakal sehat, dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri. Artinya, tidak sah seorang laki-laki yang menalak perempuan yang belum dinikahinya, seperti mengatakan, “Jika aku menikahinya, maka ia tertalak.”

Demikian pula anak kecil dan orang yang hilang kesadaran akalnya, seperti karena tidur, sakit, tunagrahita, dan mabuk. Hanya saja, menurut Syekh As-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab (Beirut: Darul Kutub, jilid 3, hlm. 3), hilangnya kesadaran mereka perlu dilihat penyebabnya.

فَأَمَّا مَنْ لَا يَعْقِلُ فَإِنَّهُ لَمْ يَعْقِلْ بِسَبَبٍ يَعْذِرُ فِيْهِ كَالنَّائِمِ وَالْمَجْنُوْنِ وَالْمَرِيْضِ وَمَنْ شَرِبَ دَوَاءً لِلتَّدَاوِيْ فَزَالَ عَقْلُهُ أَوْ أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِ الْخَمْرِ حَتَّى سَكَرَ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ لِأَنَّهُ نُصَّ فِي الْخَبَرِ عَلَى النَّائِمِ وَالْمَجْنُوْنِ وَقِسْنَا عَلَيْهِمَا اَلْبَاقِيْنَ وَإِنْ لَمْ يَعْقِلْ بِسَبَبٍ لَا يَعْذِرُ فِيْهِ كَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لِغَيْرِ عُذْرٍ فَسَكَرَ أَوْ شَرِبَ دَوَاءً لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَزَالَ عَقْلُهُ فَالْمَنْصُوْصُ فِي السَّكْرَانِ أَنَّهُ يَصِحُّ طَلَاقُهُ

“Adapun orang yang tidak sadar, jika tak sadarnya karena sebab yang dimaafkan, seperti orang yang sedang tidur, tunagrahita, sakit, dan minum obat guna mengobati penyakitnya, sampai hilang kesadaran akalnya, atau dipaksa minum khamer sampai mabuk, maka ia tidak jatuh talaknya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash Hadis tentang orang tidur dan orang tunagrahita. Maka kita analogikan saja yang lain kepada keduanya. Selanjutnya, jika seseorang hilang kesadaran akalnya karena sebab yang tidak dimaafkan, seperti orang yang minum khamr tanpa alasan sampai mabuk, atau minum obat tanpa ada kebutuhan, sehingga hilang kesadaran akalnya, maka menurut pendapat (nash) yang telah ditetapkan tentang orang mabuk, jatuhlah talaknya.” 

Baca juga: Hukum Seorang istri Menggugat Cerai Suaminya yang di Penjara

Begitu pula orang yang dipaksa menjatuhkan talak juga perlu dilihat paksaannya: apakah hak atau tidak. Jika paksaannya hak seperti paksaan hakim di pengadilan, maka talak yang dijatuhkannya adalah sah dan jatuh. Sama halnya dengan keputusan cerai yang telah diputuskan oleh hakim pengadilan.

Selanjutnya, Syekh As-Syairazi merinci kriteria paksaan tersebut: (1) pihak yang memaksa lebih kuat dari yang dipaksa, sehingga tak bisa ditolak; (2) berdasarkan dugaan kuat, jika paksaan itu ditolak, sesuatu yang ditakutkan akan terjadi; (3) paksaan akan diikuti dengan sesuatu yang lebih membahayakan, seperti pemukulan, pembunuhan, dan seterusnya.

Maka dalam kondisi demikian, ungkapan jelas seseorang yang menjatuhkan talak dianggap sebagai ungkapan sindiran. Jika diniatkan dalam hatinya, talaknya jatuh. Jika tidak diniatkan, talaknya tidak jatuh, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Muhammad Ibn Qasim dalam Fathul Qarib (Semarang: Pustaka Al-‘Alawiyyah, tanpa tahun, hlm. 47).  

Lalu bagaimana dengan talak orang yang marah? Syekh Zainuddin Al-Maibari, salah seorang ulama Syafi‘i, menyatakan dalam Fathul Mu‘in (Terbitan Dar Ihya Al-Kutub,  hlm. 112).

وَاتَّفَقُوْا عَلَى وُقُوْعِ طَلَاقِ الْغَضْبَانَ وَإِنْ ادَّعَى زَوَالِ شُعُوْرِهِ بِالْغَضَبِ

“Para ulama sepakat akan jatuhnya talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat kemarahannya.”  

Baca juga: Traveling Bisa Turunkan Risiko Perceraian

Kedua, istri yang ditalak harus dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, yang kemudian talaknya dikenal dengan “talak sunnah” dalam arti talak yang diperbolehkan. Sedangkan istri yang ditalak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri, dikenal dengan “talak bid‘ah” dalam arti talak yang diharamkan. Kedua jenis talak ini berlaku bagi istri yang masih haid. Sedangkan bagi istri yang tidak haid—seperti istri yang belum haid, istri yang sedang hamil, istri yang sudah menopause, atau istri yang ditalak khuluk dan belum dicampuri—tidak berlaku. 

Salah satu hikmah keharusan talak dijatuhkan saat istri sedang suci adalah agar ia langsung menjalani masa iddah, sehingga masa iddahnya menjadi lebih singkat. Berbeda halnya, jika talak dijatuhkan saat istri sedang haid, meskipun tetap sah, maka masa iddahnya menjadi lebih lama karena dihitung sejak dimulainya masa suci setelah haid.  Demikian pula jika istri ditalak dalam masa suci tetapi setelah dicampuri, maka kemungkinan untuk hamil akan terbuka. Jika itu terjadi, maka masa mengandung hingga melahirkan akan menjadi masa iddahnya. 

Ketiga, redaksi talak yang dipergunakan bisa berupa ungkapan yang jelas (shorih), bisa juga berupa ungkapan sindiran (kinayah). Maksud ungkapan jelas di sini, tidak ada makna lain selain makna talak. Sehingga meskipun seseorang tidak memiliki niat untuk menjatuhkan talak dalam hati, jika yang dipergunakan adalah ungkapan shorih maka talaknya jatuh. Contohnya, “Saya talak kamu,” atau “Saya ceraikan kamu,” atau “Saya lepaskan kamu.”  

Berbeda halnya dengan ungkapan kinayah. Sebagaimana diketahui, ungkapan kinayah mungkin bermakna talak, mungkin pula bermakna lain. Sehingga talaknya akan jatuh manakala ada niat talak dalam hati yang mengucapkanya. Artinya, jika tidak ada niat, maka talaknya tidak jatuh. Contohnya, “Sekarang kamu bebas,” atau “Sekarang kamu lepas,” atau “Pergilah kamu ke keluargamu!” Hanya saja, menurut Abu Hanifah, ungkapan kinayah yang cukup jelas, tetap tidak memerlukan niat. Contohnya, “Engkau sekarang sudah jelas, bebas, lepas, dan haram (bagiku). Maka pergilah dan pulanglah ke keluargamu!” Pendapat ini juga didukung oleh Imam Malik. Sementara menurut Imam Ahmad, makna atau konteks keadaan dalam semua ungkapan kinayah menentukan status niat. (Lihat: An-Nawawi, Majmu‘ Syarh al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut, Jilid 17, hal. 104). 

Baca juga: Konsultasi Keluarga: Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Anak

Sejalan dengan ungkapan kinayah adalah ungkapan shorih yang dilontarkan oleh seseorang yang dipaksa. Maka jatuh dan tidaknya talak kembali kepada niat dalam hatinya. Jika bersamaan dengan ungkapan itu ada niat, maka jatulah talaknya. Begitu pula sebaliknya.

Talak juga jatuh dengan ungkapan ta‘liq, seperti ungkapan seorang suami kepada istrinya, “Jika engkau masuk lagi ke rumah laki-laki itu, maka engkau tertalak.” Jika istrinya benar-benar masuk ke rumah tersebut, maka jatuhlah talaknya (lihat: Syekh Muhammad Ibn Qasim, Fathul Qarib (Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyah, tanpa tahun, hlm. 48).

Selanjutnya, perlu berhati-hati bahwa talak juga jatuh dengan ungkapan senda gurau atau main-main selama disengaja mengucapkannya sekalipun tak disengaja maknanya (lihat: Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anatut Tholibin, jilid 4, hal. 8). 

Demikianlah uraian singkat tentang syarat dan ketentuan talak. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘Alam. []

Sumber: 1. Imam An-Nawawi, Majmu‘ Syarh Al-Muhadzab. Beirut: Darul Fikr, Jilid 17, 2. Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Tholibin, jilid 4, 2. Syekh al-Syairazi, Al-Muhadzab, Beirut: Darul Kutub, jilid 3, 3.Syekh Muhammad Ibn Qasim, Fathul Qarib, Semarang: Pustaka Al-‘Alawiyyah


Artikel ini ditulis oleh Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja, Sukabumi, Pengasuh Majelis Ta’lim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.

Editor: Ibnu Fadhl

https://www.laduni.id/post/read/69499/cerai-itu-boleh-tapi.html