Celeng Berkalung Sorban

Mungkin gambar 1 orang
Oleh Binhad Nurrohmat, Penyair, Mukim di Rejoso, Jombang Jawa Timur

Jombang, RumahBaca.id – Di kawasan Jawa bagian tengah ditemukan kata “celeng” sebagai personifikasi negatif dan stigmatisasi spiritual yang diciptakan oleh politik kolonial Hindia Belanda. Data ini saya peroleh dari informasi lisan dan literatur kajian akademik.

Di kalangan santri tradisional yang percaya kepada penglihatan supranatural kerap terkisahkan orang yang dianggap punya daya penglihatan ekstra yang mampu melihat wujud asli manusia yang berbeda dari penglihatan awam, misalnya manusia bertubuh lazimnya manusia namun berkepala babi/celeng atau anjing. Penglihatan ini berkonotasi buruk atau negatif.

Istilah “celeng kalungan sorban” (babi hutan berkalung sorban) menggambarkan perilaku palsu atau munafik. Orang bejat atau dekaden yang tampil berkostum orang saleh atau orang alim untuk mengelabui khalayak. Sorban dan jubah yang kadung identik dengan kealiman dan kesalehan pemakainya. Perilaku yang semata menunggangi “politik identitas” inilah yang melahirkan istilah “celeng kalungan sorban”.

Pada abad ke-19, di masa Kolonial Hindia Belanda, di daerah Pekalongan ada tokoh bernama Kiai Ripangi Kalisalak (Kiai Ahmad Rifai dari Kalisalak, Batang, Pekalongan).

Kiai Ripangi menulis 60-an kitab berbahasa Jawa dalam bentuk nazam (syair) berbahasa Jawa berhuruf Arab-pegon dan berbahasa Melayu beraksara Melayu Jawi. Ajaran Kiai Ripangi dianggap berbahaya bagi eksistensi pemerintah kolonia Hindia Belanda

Kiai Ripangi berpendapat yang shalat Jumat di masjid jami di Pekalongan dan yang dinikahkan oleh penghulu pemerintah kolonial tidak sah dan harus diulang karena masjid itu dibangun oleh penjajah dan penghulunya digaji pula oleh penjajah.

Stigmatisasi dilakukan oleh pihak kolonial untuk membunuh karakter Kiai Ripangi dan para pengikutnya bahwa setelah mati mereka berubah menjelma babi hutan alias celeng. Pemuka “santri celeng” itu, Kiai Ripangi, dibuang ke Saparua dan kemudian berlanjut dibuang ke Manado hingga akhir hayatnya.
Kiai Ripangi menulis dalam salah satu karyanya berjudul Syarikhul Iman yang kutipannya sebagai berikut:

Luwih utomo mukmin mbungkuk nandur telo
Tinimbang mukmin mbungkuk ngawulo Walondo
(Lebih utama mukmin membungkuk menanam ketela ketimbang mukmin membungkuk menghamba Belanda).