Bunga-Bunga Ramadhan : Zakat Badan dan Zakat Harta (Bag-5)


Puasa adalah zakatnya badan; di bulan Ramadhan
seorang Shoim menunaikan dua zakat sekaligus: zakat badan dan zakat harta (fitrah)
seusai tamat berpuasa.

ARRAHMAH.CO.ID – Beras atau makan nasi di zaman
jayanya Majapahit adalah gambaran status sosial di atas rata-rata. Kerajaan sampai
menetapkan suatu kawasan “Sima” (semacam kawasan ekonomi khusus) untuk mendapatkan
beras dari pertanian padi. Meski pangan pokok rakyat saat itu tidak hanya
terdiri dari beras. Penetapan desa menjadi
Sima
didahului dengan membuka sawah atau mengubah tanah non-sawah menjadi tanah
sawah (Supratikno Rahardjo: 2011). Padahal Majapahit sudah ada makanan pokok
lainnya, tapi dinomorduakan, seperti umbi-umbian berupa ubi dan talas, dan
beberapa masih terdapat sagu pohon (
metroxylon
pp
). Bahkan bila ada orang dari kalangan rakyat ingin secara rutin makan beras/nasi, ia akan mencoba mendaftakan diri sebagai prajurit.

Dengan begitu, ia akan mendapatkan
Upa (baca: Upo): beras. Dari sinilah
asal-usul istilah “Upah” dipakai dalam kepagawaian sebagai bayaran sampai hari
ini. Ada Upah Minimum Regional (UMR), Upah minimum provinsi (UMP), ada Upah
Minimum Kabupaten (UMK) yang hampir tiap tahun berubah, menurut tingkat inflasi
kawasan (beberapa kabupaten malah tidak mengalami perubahan). Istilah “Upa” ini
masih dipakai. Padahal karyawan dan buruh, berkat modernisasi dan sistem Uang, sudah
tidak dibayar lagi dengan beras: Upa. Sekitar
akhir 1990-an PNS, TNI/Polri tidak lagi mendapat jatah Upa; entah sekarang.

Lama-lama beras menjadi makanan
pokok yang diunggulkan, tersebab ia menjadi sistem pembayaran jasa atau gajih. Tak
jauh beda juga saat ini, beras kadung menjadi bahan pangan pokok masyarakat. Zaman
program swasembapada pangan Orde Baru, beras telah menggeser pangan pokok lokal
lainnya—terutama di Indonesia bagian timur. Di Seram, kabupaten Maluku Tengah, misalnya
pangan lokal Sagu (metroxylon) tergusur oleh beras. Perubahan ini tak hanya
menggambarkan keterubahan pola makan, dan bahan pangan pokok, tetapi
menggambarkan pula perubahan moda-produksi dan konsumsi yang turut menyumbang
perubahan sosial. Misalnya urban revolution di beberapa titik aglomerasinya. Akhirnya
uang, sebut saja di Negeri Sepa dan Lafa, menjadi sistem pembayaran. Dulu ada
tradisi bertukar sagu, lamur hilang. Jika pada tahun 1911, seorang etnografer
melaporkan bahwa sagu adalah makanan pokok orang Seram, diolah berbentuk tajin
jadi papeda/popeda atau sagu taku (dibakar dalam forna), kini tak mudah
dijumpai. Dan beras bersama pangan lainnya seperti ubi, keladi, kasbi
(singkong), jagung, pisang merupakan pangan pokok kedua.

Beras inilah saat ini mejadi
koversi pembayaran zakat fitrah. Yang dalam bahasa fiqih klasik, ala pesantren,
Quwtl balad” dulu adalah kurma (Tamr) yang dipakai bahan pembayaran
zakat, atau gandum (Sya’iir). Di Indonesia
zakat sudah lama dibayarkan menggunakan beras. Satu Shaa’ (takaran Bagdad) kurma setara dengan 2,5 kg atau 3,5 liter
beras. Dr. Musthofa Dib Albigha, dalam kitab “Attadzhib fi Adillati Matn Al Ghayah wat Taqrib” (terkenal Matan
Abi Syuja’, atau Santri menyebutnya Taqrib), 1 Shaa’ itu setara dengan 2400 gram. Ulama kita sudah mufakat dibulatkan
2,5 kg dalam timbangan atau 3,5 liter dalam takaran, lil Ihthiyat. Tetapi zakat ini belakangan dikoversi lagi ke Uang. Yah,
mungkin karena sistem pengupahan bukan lagi beras, tetapi uang. Maka zakat
fitrah, misalnya di Sukabumi, 1 Shaa
Quwtil Balad
jika dikonversi ke uang cukup dibayar Rp 30.000. Di Bekasi, Rp
40.000, di Pengandaran Rp 25.000, perbedaan konversi ini ditetapkan oleh BAZNAS
Provinsi Jawa Barat. Tentu wilayah lain akan berbeda-beda. Begitulah hukum
syariat Islam, apalagi dalam hal wajibnya zakat, sebenarnya mengikuti kebudayaan
masyarakat tempatan.

Rupanya, bulan Ramadhan ini
benar-benar bulan luar biasa dan istimewa (bulannya Umat Nabi Muhammad SAW). Di
bulan Ramadhan seorang Shoim (muslim yang berpuasa) menunaikan dua zakat
sekaligus: zakat badan dan zakat harta. Pertama puasa itu adalah zakatnya badan,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah
dan Ath Thabrani dari Sahal bin Sa’id. Penjelasan ini terdapat dalam kitab
Tanqihul Qoul Al Hatsits fi Syarh Lubab Alhadits—anggitan Syekih Muhammad bin
Umar An Nawawi Al Bantani. “
Setiap
sesuatu itu ada zakatnya
,” kata Nabi SAW, “dan zakatnya badan adalah puasa.” Jadi kita tidak makan-minum,
menggauli istri/suami, di siang hari bulan Ramadhan itu dalam rangka “sedang
membayar zakat nya badan”. Dan nanti, setelah Matahari tenggelam hari akhir
Ramadhan baru zakat fitrah
masyruu’ alias wajib
dikeluarkan. Begitu fiqih mengaturnya.

Di bulan ini, seorang muslim bisa
menunaikan dua zakat sekaligus rupanya: zakat badannya dan zakat dari
harta-hartanya. Alhamdulillah…. (bersambung) []

https://www.arrahmah.co.id/2021/04/bunga-bunga-ramadhan-zakat-badan-dan.html