Bunga-Bunga Ramadhan : Asal-Muasal Wajib Puasa (bag-1)

ARRAHMAH.CO.ID –Selasa ini hari pertama berpuasa
di bulan Ramadhan 1442 hijriah. Puasa bagaimana pun memiliki dimensi kebudayaan;
artinya meski ia adalah ajarah syariat (
tasyriatul
amr
) dalam agama Islam ia memiliki dimensi budaya sekaligus sosial. Yakni
dalam hal amaliyahnya, misalnya dalam hal berbuka kita akan menemukan jajanan
ifthar (berbuka) atau ta’jil berupa
kolak yang isinya tela, pisang, singkong, bahkan ada fariasi kolang-kalingnya.
Jenis kolak pun beragam, tetapi tetap manis. 

Lalu di tempat lain, misalnya
sebut saja di Makassar atau Sulawesi pada umumnya dapat dijumpai “pisang ijo”,
kompoisisnya tentu ada pisang bersalut rasa manis yang maknyus. Di Maluku Utara
kita dapat menjumpai “nasi pulo”, yaitu sebenarnya kudapan yang terbuat dari
beras pulut begitu orang Melayu biasa menyebuntnya. Di Jawa tak lain itu adalah
beras ketan. Nasi pulo ini akan disiram dengan gula kelapa yang kental. Bedanya
kalau di Jawa ketan ditaburi parutan kelapa lalu disiram gula aren cair atau
gula kelapa. Kalau di Maluku Utara tanpa parutan kelapa, dan sangat tidak
mungkin menggunakan gula aren. Karena sistem budidaya enau atau aren dan
pengolahan gula aren sangat jarang dijumpai. Belum lagi tradisi ifthar dari
tanah Aceh, ranah Minangkabau, Sumbawa, dll yang memiliki ciri khas yang
mencerminkan keaneka-ragaman pangan lokalnya. Itu semua tak lain dari kearifan
umat menerjemahkan “
Sunnah” perintah
“berbukalah dengan yang manis-manis”. Berbuka dengan buah kurma, tentu bukan
hal mudah untuk daerah-daerah di nusantara yang tak mudah dilintasi jalur
supply buah khas padang pasir
ini—apalagi di zaman-zaman dulu kala.

Puasa rupanya secara istilah
merupakan “pinjam-kata” dari bahasa Sansakerta 
yaitu “Upawasa”. Artinya
berhenti / libur tidak makan Upo (nasi).
Iya, karena bahan pangan pokok (quwtl qaum)
kebanyakan di nusantara adalah beras atau nasi, yang di zaman dulu disebut Upa  (baca: upo). Penyebaran Upa (beras) ini tentu
tidak lepas dari peran Majapahit dulu kala, apalagi saat jaya-jayanya di bawah
kepimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada (Supratikno Rahardjo:
2002). Maka upawasa atau lazim saat ini disebut puasa itu ialah secara lughowi “ibadah tidak makan nasi”.
Walaupun sebenarnya yang dimaksudkan ialah tidak makan dan tidak minum—juga
tidak melakukan hubungan seksual di siang hari dengan pasangannya (suami/istri)
di bulan Suci Ramadhan.

Jika puasa atau upawasa dimaknai hanya lughawi, lalu
bagaimana dengan umat muslim Maluku, yang di masa sebelum kebijakan “revolusi
hijau” yang melahirkan beras melimpah (1984), mereka sangat jarang makan beras
(nasi).  Dalam tradisi pangan orang
Maluku Utara, terutama di Pulau Moti, warga baru makan nasi di hari Jumat. Itu
pun biasanya makan setelah bakda ibadah jumatan, biasanya, sebagai bentuk
syukur dan makan bersama – yang adakalanya dalam keluarga besar. Selebihnya
mereka makan makanan pokok yang beragam terdiri dari Sagu (metroxylon pp),
kasbi (sagu terbuat parutan singkong yang dicetak menyerupai roti), batatas
(ubi jalar), amo (sukun), kieha (talas hutan), dll. Terutama sagu pohon
(metroxylon pp) menempati urutan pertama.

Namun, terlepas dari ulasan dimensi
budaya puasa itu, kewajiban berpuasa sebenarnya ialah untuk menaklukkan “musuh
bebuyutan” manusia. Di sinilah letak asal-ulul kewajiban puasa (tasyriatush Shaumi). Di dalam kitab
“Misykat” yang dikutip kedalam kitab “Durratun Nashihin fil wa’dli wal irsyad”
(mutiara para pemberi nasihat dalam memberi wejangan dan bimbingan) oleh Syeikh
Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al Khobawiy, salah seorang ulama di abad
ke-13 hijriah, bahwa upawasa
(Ash-Shoum) diwajibkan kepada anak-cucu Adam a.s. untuk mematahkan “wasilah”
setan (musuh bebuyutan manusia) dalam berjuang mengelabuhi manusia agar
berbelok dari jalan dan arah untuk kembali (taubat) datang dan menghadap
(muwajahah) kepada Allah SWT. Wasilah ini adalah Syahwat. Syahwat menjadi kuat
lantaran makan dan minum, apalagi berlebihan. Syahwat ini adalah rumahnya Nafsu
dan kendaraan syaithan.

Karena itu, demikian kata sang
Syeikh, diriwayatkan (dalam kitab Misykat) ketika Allah menciptakan ‘Aql (Akal), Allah berkata kepadanya: “menghadap kemari!” menghadaplah si ‘Aql . “Berbaliklah!” lalu berbalik ia menuruti perintah. Allah kemudian
berkata, “Siapa aku? Dan Siapa kamu?”.
Berkatalah si ‘Aql, “Engkau Tuhanku, dan Aku hambamu yang lemah”.
Berkat itu Allah berkata kepada ‘Aql,
wahai ‘Aql aku tak menciptakan makhluk
yang lebih mulia selain engkau
”.

Kemudian Allah menciptakan Nafs (Nafsu biang syahwat). Lalu Dia
berkata kepada Nafsu, “Hai kamu kemarilah
menghadap
”. Nafsu diam tak menjawab. Lantas Allah bertanya, “Siapa aku dan siapa kamu?” Nafsu lalu
menjawab, “Aku ya aku, kamu itu ya kamu.”
Rupanya nafsu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya dan Tuhannya. Maka
biar ia mengerti dan tahu diri, Allah menghukumnya selama 100 tahun di neraka
jahannam. Setelah itu, dia dikeluarkan, dan ditanya dengan pertanyaan yang
sama. Apa hasilnya? Jawabannya sama seperti awal. Maka Allah membenamkan Nafsu
di dalam neraka lapar selama 100 tahun, lalu setelah itu ia ditanya pertanyaan
yang sama—“Siapa aku dan siapa kamu?”. Baru setelah dalam neraka kelaparan itu
Nafsu bisa mejawab dengan benar, “Aku hambamu,
dan Engkau Tuhanku Yang Maha Perkasa
”. Sejak itulah, puasa diwajibkan sebab
untuk menundukan nafsu agar ia tidak membinasakan Manusia atau jadi wasilah
syaithan menjauhkan Manusian dari Tuhannya.

Sementara alasan kenapa puasan
mejadi diwajibkan selama 30 hari, Syaikh Utsman mengutip dari “Bihjatul Anwar,”
dulukala diwajibkan puasa menjadi 30 hari karena Bapak Adam a.s. saat memakan buah terlarang,
Al Khuldi, di surga, buah itu mengendap dalam perutnya selama 30 hari. Tatkala
ia bertaubat kepada Allah—dan diterima taubatnya (berkat itu ia dianugrahi doa
Rabbana dholamna..”)—Allah
memerintahkan dia untuk berpuasa, tidak makan, minum, dan berhubungan seksual
dengan istrinya, selama tigapuluh hari tigapuluh malam. Mungkin ini asal-usul
puasa ngebleng dalam tradisi Jawa, yaitu puasa tidak makan-minum sehari
semalam, yang dalam syariat Nabi Muhammad sangat tidak dianjurkan. Dan bagi
umat Nabi Muhammad SAW cukup berpuasa di siang harinya saja. Malam harinya,
sejak gurubis syams (terbenam
matahari), dibolehkan makan-minum, dan jima’,
hingga jelang terbit fajar. (bersambung)[]

 

*). Alumnus PPs Kyai Syarifuddin Lumajang, Jawa Timur.

https://www.arrahmah.co.id/2021/04/bunga-bungan-ramadhan-bag-1.html