Biografi Syekh Hasan Ma’sum

Daftar Isi Profil Syekh Hasan Ma’sum

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Mursyid Tarekat
  5. Mufti Kesultanan
  6. Karya-Karya

 

Kelahiran

Syekh Hasan Ma’shum lahir pada tahun 1300H/1882 M, di Labuhan Deli, Sumatera Utara.

Wafat

Syekh Hasan Ma’shum Deli terus berkhidmah sebagai pengajar sekaligus Mufti Kesultanan Deli hingga wafat, di Medan, pada usia kurang lebih 53 tahun, menurut perhitungan tahun masehi, yakni pada hari Kamis, 24 Syawal 1355 H / 7 Januari 1937 M, setelah berbulan-bulan menderita penyakit, dan dimakamkan di perkuburan Masjid Raya al-Mashun, tidak jauh dari Istana Kesultanan Deli.

Menurut dokter, kebiasaan membaca sampai menjelang subuh membuat urat yang menghubungkan ke otaknya tertutup. Wafatnya Syekh Hasan Ma’shum, bukan saja dirasakan pilu oleh keluarga, murid-muridnya. Begitu juga oleh Al Jamiyyatul Al Washliyah bahkan seluruh ummat Islam di Indonesia dan di luar Indonesia.

Pendidikan

Pendidikannya dimulai dari keluarganya sendiri. Sejak kecil hingga umur 10 tahun, beliau tinggal bersama orangtuanya di Labuan dan pernah belajar sekolah inggris hingga kelas 3, dengan seorang guru kebangsaan India dari Malaysia. Orang tuanya memiliki peran penting dalam membentuk karakter Hasan Ma’shum. Menilai bahwa pendidikan sekolah dan madrasah sangat penting, sejak berusia tujuh tahun Hasan dimasukkan ke sekolah Inggris pada pagi hari, dan madrasah pada sore hari. Selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah rendah berbahasa Inggris di Labuhan Deli, Hasan Ma’shum, belajar mengaji dengan orang tuanya tentang Ushuluddin dan lain-lain. Sebagai seorang pelajar, Hasan mengikuti kedua sistem pendidikan tersebut dengan baik dan meraih prestasi memukau, dan harta orang tuanya ia gunakan sebagai sarana belajar, bukan untuk meraih kesenangan duniawi. Keseriusannya dalam pendidikan agama sudah menonjol ketika beliau masih berusia tujuh tahun, setiap pelajaran dihafalnya sampai tengah malam apalagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kisah Rasul ﷺ.

Ke Makkah, pertama

Berkat kesungguhan dan kecerdasan dalam menuntut ilmu sehingga beliau mendapat pengakuan dari gurunya, beliau direkomendasikan agar dimasukkan ke sekolah terbaik. Kecintaannya terhadap ilmu agama semakin tampak jelas ketika beliau mendapatkan pilihan dari orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke Singapura atau ke Makkah. Mr. Henry sebagai guru sekolah menganjurkan Hasan melanjutkan studi ke Singapura, tetapi Hasan memutuskan untuk melanjutkan studi agama ke Makkah dengan pertimbangan bahwa Sumatra Timur masih membutuhkan ulama. Sebagai pelajar, Hasan telah mampu menemukan bakatnya dan memberikan pilihan tepat tentang masa depannya. Hasan benar-benar mewarisi bakat dari sang ayah yang bernama Syekh Muhammad Ma’sum Sejak kecil Hasan telah menampakkan sifat zuhud dan ilmuwan, meskipun berasal dari keluarga hartawan. Syekh Muhammad Ma’sum telah menunjukkan tanggungjawab sebagai orang tua dengan memberikan pendidikan terbaik bagi Hasan.

Pada tahun 1894, dalam usia 10 tahun Hasan Ma’shum dibawa ke Makkah oleh orang tuanya, pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, dengan mengikuti rombongan Jamaah Haji yang akan berangkat ke tanah suci. dan tinggal menetap selama 9 tahun mempelajari ilmu agama. Ketika sang ayah pulang kembali ke negaranya di Kesultanan Deli, sang anak tetap tinggal di Makkah untuk bermujawarah dan belajar di sana.

Karena berangkatnya bersamaan dengan rombongan jamaah haji sudah tentu ramai orang yang mengantarkan di pelabuhan Belawan, hingga sampai ke Titi Papan. Riuh rendah suara tangis dan lantunan suara azan mengiringi kepergian Hasan Ma’shum dalam menuntut ilmu ke tanah suci. Perjalanan yang begitu melelahkan itu dilalui walau harus mengorbankan nyawa sebagai taruhannya dalam mengarungi gelombang sebesar gunung di samudra yang luas. Tentu saja disadari bahwa Makkah lebih jauh dari Singapura dan tantangan dari kedua negara sangat berbeda, tetapi Hasan tetap memiliki keteguhan diri, dan minat untuk mendalami ilmu-ilmu agama sangat tinggi, padahal perjalanan dari Labuhan (Sumatra Timur) menuju Makkah via kapal laut saat itu membutuhkan waktu selama tiga bulan dan paling cepat 75 hari. Hasan memiliki keyakinan tinggi terhadap kewajiban mengkaji agama Islam, dan meskipun kedua orang tuanya sangat kaya tidak membuatnya berubah pikiran, sebab Islam telah mengajarkan bahwa ilmu lebih mulia daripada harta.

Awalnya, Hasan Ma’shum belajar kepada guru agama yang bernama ‘Abdus Salam yang berasal dari negeri Kampar. Setelah mendapat bekal ilmu dan kepandaian dasar-dasar agama dari sini, seperti bahasa arab dan lain-lain, kemudian belajar lagi kepada Ulama-ulama yang terknal yaitu Tuan Syekh Ahmad Khayyat dan kepada almarhum Tuan Ahmad Khatib seorang ulama yang masyhur dan menjadi imam dan khatib pada mazhab Syafii di Makkah. Syekh Hasan Ma’shum belajar fikih kepada kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh ‘Abdul Qadir al-Mandili yang merupakan murid Syekh Sayyid Bakri Syatha’ sedangkan Syekh Ahmad Khatib juga belajar kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân (w. 1886). Dari keduanya, sanad keilmuan Syekh Hasan menyambung sampai kepada Imam al-Bukhârî yang menyusun kitab Shahih Bukhari, dan Abû al-Hasan al-Ash‘arî dan Abû al-Mansûr al-Mâturidî sebagai dua ulama pendiri teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Kepada ulama lainpun Hasan Ma’shum sempat juga belajar, seperti kepada Tuan Syekh Amin Ridhwan di Madinah, seorang ulama asal negeri Makkah.

Sembilan tahun dalam menuntut ilmu bukan merupakan waktu yang sebentar, tidak hanya sekadar kenyang dengan ilmu pengetahuan beliau juga memiliki kenalan yang luas selama menuntut ilmu di Makkah. Banyak pelajar-pelajar yang datang menuntut ilmu bersamanya baik dari Sumatra maupun Jawa, di antara mereka adalah ulama-ulama masyhur di tanah air, sebagian mereka adalah: (1) Abdul Karim; (2) Abdul Majid; (3) Musthafa Husein Purba Baru; (4) Abdul Qadir al-Mandili; dan (5) Muhammad Dahlan, yang ketika itu juga terhitung sebagai seorang ulama di Makkah. Banyak perubahan yang terjadi baik di tanah suci maupun di tanah air dalam masa itu, beberapa kali keluarganya meminta agar Hasan Ma’shum kembali ke tanah air, apalagi setelah ibu kandungnya meninggal dunia tanpa kehadirannya.

Dengan berat hati akhirnya pada tahun 1903 Hasan Ma’shum terpaksa meninggalkan tanah suci untuk kembali ke tanah air. Setelah sembilan tahun di Makkah, Hasan Ma’shum kembali pulang ke Sumatra, ke rumah orangtuanya di Labuhan Deli, bersama rombongan jamaah haji melalui Singapura, lalu ke Labuhan (Medan). Tetapi 6 bulan sesudahnya, yakni setelah 6 bulan di Labuhan Deli, kembali lagi ke Makkah karena belum merasa puas dengan ilmu yang didapatnya selama 9 tahun.

Ke Makkah, kedua

Ke Makkah kali yang kedua ini Hasan Ma’shum menetap tiga tahun dalam rangka menambah ilmu agama yang dirasanya masih belum mahir olehnya. Hasan Ma’shum sempat belajar kepada Syekh Daud Abdullah al-Fathani sekitar tiga tahun, mulai tahun 1320H/1902M hingga awal tahun 1325H/1907M.

Pada tahun 1907 M (1325 H), Syekh Hasan Ma’shum pun pulang ke Kesultanan Deli, atau ke Labuhan dan tinggal disana 1 tahun. Dalam usia 23 tahun beliau kembali ke Indonesia, terus mencari dan mempelajari ilmu agama yang tinggi-tinggi, khususnya ilmu fikih dalam Mazhab Syafi’i. Pada saat inilah Hasan Ma’shum dinikahkan oleh orangtuanya dalam usia kurang lebih 23 tahun. Setelah menikah, Hasan Ma’shum kembali lagi ke Makkah untuk melanjutkan pengetahuan, hingga tinggal disana selama delapan tahun lagi.

Ke Makkah, ketiga

Untuk ketiga kalinya Hasan Ma’shum kembali lagi ke Makkah dan bermukim selama 8 tahun. Tidak kurang dari 20 tahun, Hasan menimba ilmu-ilmu agama di Haramain (Makkah dan Madinah), dan tidak sedikit pun merasa menyesal dengan pilihan hidup tersebut. Hasan mengkaji karya-karya akademik seperti ilmu tauhid dari mazhab Asy‘arîyah, ilmu fikih dari mazhab Syafi’iyah, dan ilmu tasawuf dari Tarekat Khalwatiyah dan Naqshabandîyah. Sebagai pelajar agama selama 20 tahun, ia menyadari bahwa semua ilmu agama Islam seperti tauhid, fikih dan tasawuf sangat penting, sehingga ia harus menemui dan mengikuti pelajaran dari para ulama Haramain, dan akhirnya mengantarkannya menjadi seorang ulama dan benteng mazhab Sunni. Sebagai pelajar agama, Hasan memiliki ketekunan tinggi sehingga mendapatkan legitimasi dari ulama dan pelajar di Haramain karena mampu menguasai materi-materi agama dengan maksimal.

Dalam pada itu, orangtuanya pun meninggal dunia di Labuhan, sedang Kesultanan Deli amat perlu mempunyai seorang alim yang agak cerdik didalam hukum-hukum yang bertali kepada keperluan umum atau watenschapplelijk. Maka yang dirasa patut oleh Kesultanan Deli, terlebih almarhum Tuanku Sultan Ma’moen al-Rasyid, Sultan van deli yang sudah mangkat, hanya Tuan Syekh Hasan Ma’shumlah, maka Syekh Hasan Ma’shum dipanggil dari Makkah supaya kembali ke negeri. Dalam keadaan terpaksa, Syekh Hasan Ma’shum berserta istri dan anak-anaknya yang lahir di sana kembalilah ke Labuhan pada tahun 1916, mereka tinggal di Labuhan selama 1 bulan, kemudian pindah ke Medan, dan menetap di Medan dan terkenal sebagai seorang ulama yang masyhur. Dari hasil penuntutan ilmu di Makkah, Syekh Hasan Ma’shum mahir dalam ilmu tasawuf dan fikih, ilmu hisab dan falakiyah, ilmu bahasa arab dan syarat-syaratnya.

Mursyid Tarekat

Syekh Hasan Ma’sum adalah mursyid dari Tarekat Naqsyabandiyah, meskipun ada klaim bahwa ia juga menganut Tarekat Khalwatiyah. Sebagai mursyid tidak membuat Syekh Hasan pasif terhadap kehidupan sosial, bahkan politik. Dalam bidang sosial, ia mendedikasikan diri kepada organisasi Al Jam’iyatul Washliyah dan Al Ittihadiyah sebagai dua organisasi kaum tua yang sangat patuh terhadap fikih Syafi’iyah. Syekh Hasan menilai bahwa Islam akan dapat dikembangkan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga keagamaan secara kolektif.

Syekh Hasan Ma’sum yang merupakan teman sejawat Syekh Muhammad Zain Nuruddin Batu Bara di Makkah, Ulama besar Nusantara asal Batubara, Sumatera Utara, salah seorang murid Syekh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri. Selain itu, adapula sahabatnya yang lain bernama Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asahan, Syekh Hasan Ma’sum dan Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan keduanya adalah murid dari Syekh Ahmad al-Fathani.

Mufti Kesultanan

Sedangkan dalam bidang politik, Syekh Hasan Ma’sum menerima tawaran Sultan Kesultanan Deli untuk menjabat sebagai mufti Kesultanan. Sosoknya dikenal sebagai seorang yang berilmu pengetahuan luas, mengajar di madrasah kesultanan, karier dan reputasinya kian cemerlang, hingga akhirnya Sultan Deli saat itu, Sri Sultan Ma’moen al-Rasyid Perkasa Alamsyah (memerintah 1879-1924 M), melantiknya sebagai mufti dan qadhi Kesultanan Deli. Pada awalnya, ia menolak dengan sejumlah alasan, namun akhirnya ia menerima amanah itu, sejak saat itulah ia mendapat gelar Imam Paduka Tuan. Ia juga mengajar di Masjid Raya, Masjid Kesultanan Deli.

Karya-Karya

  1. Kutufatussaniyah : Berbicara Tentang Talaffus dengan niat.
  2. Samirussahibyan : Berbicara Tentang Fiqih.
  3. Tazkirul Muriddin : Bahagian Tasawuf.
  4. Dhararul Bhayan : Menerangkan Tauhid.
  5. Fathul wudud : Menyatakan salah keadan niat.
  6. Tankihuz zunun : Berbicara masalah maimun.
  7. Targhibul mustakim : Berbicara mendirikan Jum’at
  8. Isfa’aful Muridin : Berbicara Rabithah.
  9. Maqalatun Nafiyah : Berbicara Kabliyah Jum’at.
  10. Sarimul Mumayyiz : Berbicara takliq dan Ijtihat.
  11. Ittihaful Ikhwan : Berbicara Kaipiyat Yassin, Mumfariyah, Ratib hadad, Doa.
  12. Jadwal Buat Mengetahui Waktu.
  13. Natiyah Abadiyah : untuk mengetahui awal waktu dan lain-lain.
  14. Durrul –Muhazzab : Berbicara Rubu’ Mudyaijab dalam bahasa Arab.
  15. Nubzatul- Lukluiyah : Menerangkan Rabithah, dengan bahasa Arab.
  16. Sullamus –Salikin : Bacaan wirid
  17. Kaifiat dan Salsilah Talkin Zikir : ( Khusus).

https://www.laduni.id/post/read/49703/biografi-syaikh-hasan-masum.html