Biografi Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW

Daftar Isi Biografi Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat

2.    Sanad Keilmuan

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Perpisahan dengan Sang Kakak
3.2  Sosok yang Tegar Melihat Keadaan Ayah Bunda
3.3  Menjadi Pembela Ayah
3.4  Ditinggal sang Bunda Tercinta
3.5  Masa Hijrah dan Tinggal di Madinah
3.6  Menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA
3.7  Peran Sayyidah Fatimah Az-Zahra di Medan Perang
3.8  Kedudukan Fatimah di antara Istri-istri Rasul
3.9  Perpisahan dengan Ayah Tercinta

4.    Teladan

5.     Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sebagian menuturkan bahwa Fatimah dilahirkan pada hari Jumat di Makkah, pada 20 Jumadil Akhir, lima tahun sebelum diutusnya sang ayah tercinta, Muhammad bin Abdullah, menjadi Rasul, hal Ini adalah pendapat yang populer di kalangan Ahlussunnah. Yaitu ketika Rasulullah SAW terpilih menjadi penengah kaum Quraisy yang sama­-sama mengklaim berhak untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Kelahiran Sayyidah Fatimah Az- Zahra  didahului oleh peristiwa hebat dan penting dalam perjalanan kehidupan sang ayah, Nabi Muhammad SAW. Sayyidah Fatimah Az-Zahra  merupakan putri keempat dari Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah  Khadijah  .

Beliau menghampiri sang istri, Sayyidah  Khadijah   dan putrinya yang baru lahir tersebut, lalu mengusap sang permata hatinya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Beliau membelainya dengan penuh kasih dan sayang. Sang bayi yang mungil disusukan langsung oleh ibunya, Sayyidah  Khadijah  , tidak kepada perempuan lain sebagaimana lazimnya adat pada waktu itu. beliau memilih sendiri untuk menyusui dan membesarkannya. Dengan demikian, Sayyidah  Khadijah   mulai membuka hal baru bagi perempuan untuk mendidik anaknya sendiri dari lahir. Sebagaimana bayi memiliki sifat seperti orang yang menyusuinya, maka Sayyidah Fatimah Az-Zahra  pun mewarisi sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh sang ibu.

Dari sejak kelahiran sang buah hati, Nabi Muhammad telah melihat pada diri putrinya tersebut ada tanda-tanda keberkahan dan kebaikan. Oleh karena itu, beliau memberinya nama Fatimah dengan gelar Az-Zahra (yang bersinar wajahnya bak bunga), karena ia adalah bunganya Muhammad SAW. Fatimah juga bergelar Al-Batul, yakni wanita yang dikhususkan untuk beribadah kepada Allah karena banyaknya kesamaan antara diri beliau dengan Maryam binti Imran, maka Fatimah tidak pernah haid selamanya, ketika melahirkan pun mengeluarkan darah nifasnya hanya waktu itu saja.Tindakan beliau dalam menjaga dan merawat Nabi Muhammad SAW, serta beliau adalah sebaik-baik wanita penduduk surga secara mutlak. Selain bergelar Az-Zahra dan Al-Batul, Fatimah juga digelari Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), karena di usianya yang masih belia sepeninggal sang Ibu, Sayyidah  Khadijah   beliau lah yang mengurus keperluan rumah tangga sang ayah.

Fatimah menjadi nama yang spesial bagi sang ayah, Muhammad. Bahkan, nama ini memiliki kesan sosial yang sangat mendalam di hati beliau, karena dalam silsilah keluarganya, banyak didapati sanak yang bernama Fatimah, termasuk istri pamannya, Abu Thalib, yakni Fatimah binti Asad. Fatimah binti Asad adalah ibu kedua bagi Nabi Muhammad SAW. Fatimah binti Asad diberi amanat oleh Aminah, ibu Nabi Muhammad dan kakek nabi Muhammad, Abdul Muththalib, untuk membesarkan Muhammad. Maka, beliau tumbuh dalam didikan dan asuhan paman dan istrinya layaknya anak mereka sendiri, bahkan keduanya melebihkan Muhammad daripada anak mereka sendiri. Karenanya, tak heran jika Rasulullah SAW menyebut istri pamannya itu sebagai “Ibu kedua”, “Dia adalah ibu setelah ibuku.”

Lebih dari itu, penamaan Fatimah ini merupakan ilham. Sayyidina Ali pernah berkata, “Fatimah itu dinamai Fatimah karena Allah memutusnya dan melindunginya dari api neraka” (ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Al-Fathm berarti memutus atau mencegah). Beliau lah anak yang paling mirip dengan ayahnya, dibandingkan dengan ketiga kakak perempuannya, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum.

1.2 Riwayat Keluarga
Sayyidah Fatimah Az-Zahra  menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib putra dari paman Rasulullah SAW. dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai tiga orang anak, anak-anak  terlahir pada tahun-tahun yang berurutan. Anak sulungnya bernama Hasan, lahir pada tahun ketiga Hijrah, setahun usai pemikahannya dengan Ali. Selanjutnya, pada tahun keempat Hijrah, lahirlah Husain. Pada tahun keenam, lahirlah Zainab, lalu dua tahun kemudian, Sayyidah Fatimah melahirkan Ummu Kultsum.

Ibunda Sayyidina Ali, Fatimah binti Asad, masih hidup ketika sang menantu, Fatimah binti Muhammad, mengandung anak pertama. Satu saat, ia melihat sang menantu semakin kesusahan dan terlihat letih. Sang ibu mertua kemudian menghampiri Fatimah, membelainya seraya berkata, “Biarlah rasa letihmu itu untuk ibu, Nak. Tinggalkan saja sebagian pekerjaan rumahmu!” Namun, Fatimah sudah terbiasa dengan pekerjaan itu dan tetap melanjutkan aktifitasnya.

Rasulullah SAW sangat gembira dengan kelahiran cucu-cucunya tersebut. Hanya dari putri bungsunya inilah beliau memiliki keturunan yang banyak sampai sekarang. Ketika Hasan dilahirkan, beliaulah yang mengumandangkan adzan di telinga bayi mungil itu, kemudian men- tahnik-nya (tahnik adalah mengunyah kurma sampai halus, lalu diambil kunyahan tersebut kira-kira seujung jari saja, kemudian ditempelkan dan digosokkan sedikit (kunyahan) kurma tersebut ke langit-langit mulut bayi) dan memberinya nama Hasan. Beliau jugalah yang membersihkan kotoran yang ada di kepala Hasan serta bersedekah perak kepada fakir miskin seberatt timbangan rambut Hasan, penduduk Madinah bersuka cita dengan kelahiran cucu Rasulullah SAW ini. Kaum Anshar dan Muhajirin berpesta, seolah sedang ada festival di kota itu.

Setelah kelahiran cucu pertamanya ini, Baginda Rasul sering terlihat di rumah Sayyidah Fatimah. Beliau mengikuti pertumbuhan cucunya dan turun membesarkan, mendidik, dan mengasuhnya. Pun rutin mengunjungi cucunya dan selalu menimang serta bermain dengannya.

Beberapa bulan berlalu. Sang kakek semakin bahagia karena cucunya sudah bisa melafalkan bacaan walaupun masih terdengar aneh. Inilah masa yang paling membahagiakan bagi Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW kian bahagia setelah Sayyidah Fatimah melahirkan anak lelaki kedua, Husain, pada bulan Sya’ban tahun empat Hijrah. Beliau SAW datang menemui cucunya yang kedua, lalu bersedekah dengan timbangan rambut cucunya, menyembelih hewan, dan membagikannya kepada warga Madinah. Lengkap sudah kebahagiaan Rasulullah SAW.

Sebuah riwayat mengatakan bahwa Fatimah pemah melahirkan anak laki-laki setelah Hasan dan Husain, yaitu Muhassin pada tahun kelima Hijrah. Namun, meninggal di usia yang masih belia.

Kelahiran dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain, membuat hati Rasulullah tenang dan bahagia. Keduanya melengkapi kebahagiaan dan kasih sayang Sayyidah Fatimah. Beliau melihat Sayyidah Fatimah sebagai anak yang istimewa dalam hidupnya dan mampu mengembalikan kerinduan kasih sayang seorang ayah kepada anak laki-lakinya yang telah wafat, sepeninggal sang istri, Sayyidah  Khadijah  .

Usia Baginda Nabi waktu cucu keduanya lahir adalah 57 tahun. Beliau ditinggalkan Sayyidah  Khadijah   selama hampir 17 tahun, dan beliau tidak mempunyai anak dari para istrinya yang lain. Jadi, terputuslah keturunan beliau, kecuali dari putrinya, Fatimah al-Zahra. Maka, tidak heran jika Rasulullah SAW memperlakukan kedua cucunya, Hasan dan Husain, layaknya anak sendiri dan menyayangi keduanya dengan sepenuh hati. Bahkan, beliau menganggap kedua cucunya tersebut sebagai anaknya sendiri.

Adapun anak Sayyidah Fatimah yang lain, Zainab, lahir pada tahun ke-6 Hijriyah. Pada tahun itu juga, Rasulullah SAW memimpin 1500 kaum Muslimin berangkat menuju Makkah dengan pakaian seragam putih atau pakaian ihram. Nabi sendiri yang menamai “Zainab” kepada cucu perempuannya yang baru lahir itu. Berbeda dengan kedua kakaknya, Hasan dan Husain, kelahiran Zainab disambut dengan kesedihan dan air mata.

Putri bungsu Fatimah, Ummu Kultsum, lahir dua tahun usai kelahiran kakaknya, Zainab. Tidak banyak riwayat yang menceritakannya, hanya saja  dinikahkan dengan Umar bin Khattab.

1.3 Wafat
Setelah enam bulan berlalu dari wafatnya sang ayah, Sayyidah Fatimah jatuh sakit dan bertambah parah sakitnya. beliau tergeletak di rumah beberapa waktu. Tidak terlihat keluar sama sekali. Selama sakit, Ali adalah orang yang senantiasa mendampingi, menghibur, dan menenangkannya seraya berharap ia segera sembuh. Fatimah al-Zahra berwasiat kepada sang suami dalam sebuah pembicaraan privasi yang terjadi di antara mereka Selanjutnya, Fatimah berwasiat kepada Ali, sang suami tercinta, tiga perkara:

Supaya Ali menikahi Umamah binti Abul Ash bin Rabi’, yang juga putri kakaknya, Zainab. Berkenaan dengan pilihannya terhadap Umamah, Fatimah bertutur, “Dia seperti aku dalam rasa sayangku dan belas kasihku terhadap anakku.” Umamah ini merupakan anak yang digendong oleh Rasulullah SAW ketika beliau mengimami shalat jamaah.

Supaya Ali menyiapkan keranda mayat yang beliau pilih untuknya, seperti yang diutarakan kepada Asma binti Umais tempo hari. Hal ini diinginkan Fatimah karena rasa malunya yang sangat besar. beliau mcnganggap buruk bila jenazahnya hanya ditutup dengan kain di atasnya, hingga bentuk tubuh- nya akan terlihat. Fatimah mewasiatkan kepada Ali agar membuatkan papan alas, lalu ditambahkan penyangga- penyangga untuk menopang pelepah kurma di atasnya, baru kemudian ditutupi dengan kain.

Agar beliau dimakamkan pada malam hari di Baqi’. (Jadi, sebenarnya, Sayyidah Fatimahlah yang berwasiat untuk dikuburkan pada malam hari, karena besarnya rasa malunya. Bukan karena Ali menguburkannya malam hari supaya Abu Bakar tidak ikut menghadiri pemakamannya, sebagaimana yang diceritakan oleh sebagian orang).

Tak lama setelah itu, Sayyidah Fatimah menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan sang suami, Ali bin Abi Thalib. Ruhnya yang suci naik ke haribaan pemiliknya, bertemu dengan ruh ayahanda, ibunda, dan saudaranya di surga, mengikuti ruhnya para nabi, syuhada, shiddiqin, dan orang-orang saleh. Alangkah beruntungnya mereka berada dalam kasih sayang Allah.

Ketika Sayyidah Fatimah wafat menyusul sang ayah, Sayyidina Ali lah yang memasukkan jenazah istri tercintanya itu ke liang lahat. Terlihat Ali menangis terisak- isak sehingga putranya, Hasan, berkata, “Wahai ayahku, ada apakah gerangan yang membuat dirimu menangis sedemikian rupa?”

“Wahai putraku Hasan, aku teringat pesan kakekmu, Rasulullah SAW,” ujar sang ayah, “beliau berkata, ‘Kelak, jika putriku Sayyidah Fatimah telah tiada wahai Ali, maka akulah yang akan pertama kali menerima jasadnya di liang lahat.'”

Sayyidina Ali diam sejenak lalu melanjutkan, “Dan, demi Allah, wahai Hasan putraku, aku melihat tangan kakekmu Rasulullah SAW menerima jasad ibumu. Aku melihat kakekmu, Rasulullah SAW, menciumi wajah ibumu.”

Sayyidina Ali kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kini aku kembalikan amanah yang telah engkau berikan kepadaku. Aku kembalikan belahan jiwamu, yang setiap engkau rindu akan surga, engkau cium wajah suci putrimu, Fatimah Az-Zahra.”

Sayyidah Fatimah wafat pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 11 Hijrah, pada usia 29 tahun. Dimakamkan di komplek Baqi,  bersebelahan dengan saudaranya, Zainab RA, Ruqayyah RA dan Ummu Kultsum RA.

2.  Sanad Keilmuan

Sayyidah Fatimah Az-Zahra  mendapatkan didikan langsung dari ‘Madrasah’ Rasulullah SAW. Maka, tak heran Fatimah menjadi salah seorang wanita yang kelak akan menjadi pemimpin wanita paling utama di surga, selain ibunda beliau, Sayyidah  Khadijah  Al-Kubra, Maryam binti Imran (ibunda Nabi Isa AS) dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.

3.  Perjalanan Hidup

Sayyidah Fatimah menghabiskan tahun-tahun pertamanya dengan bahagia, mendapatkan  tumpahan kasih sayang ayah-bundanya dan asuhan dari kakak- kakaknya, terutama Zainab binti Muhammad sebagai kakak tertua, yang dalam banyak hal bertindak sebagai wakil ibunya. Fatimah selalu menjadi pusat perhatian dan kasih sayang seluruh keluarga. beliau tumbuh di rumah kenabian yang penuh kemuliaan dalam pemeliharaan langsung sang ayah, dan terjaga dalam suasana kelapangan jiwa. Dia mulai lincah berlari mengelilingi seluruh pojok rumah. Sungguh, hidupnya berhadapan dengan keleluasaan yang besar untuk mengambil sebanyak- banyaknya budi pekerti, kasih sayang, serta arahan dari sang ayah.

Masa-masa ini membuat ikatan satu sama lain semakin kuat. Nabi Muhammad SAW, sang istri, Sayyidah  Khadijah  , dan anak-anak beliau selalu mencurahkan perhatiannya untuk Fatimah Az-Zahra. Maka, tak heran jika Fatimah kecil mulai menampakkan kecerdasan dan kebijaksanaannya yang mewarisi akhlak dan ilmu kedua orangtuanya.

Ketika Nabi Muhammad SAW sering bermunajat di Gua Hira setiap Ramadhan untuk menenangkan diri, menjauh dari perilaku buruk kaumnya.  Fatimah adalah orang pertama yang selalu beliau panggil saat pulang. Fatimah kecil digendong dan diciumi pipinya oleh sang ayah. Di dahinya terpancar sinar bercahaya.

3.1 Perpisahan dengan Sang Kakak
Tak lama kemudian, Zainab sang kakak yang senantiasa menemani dan mengasihinya dipinang oleh Abul ‘Ash bin al-Rabi’, seorang pemuda yang kaya dan terpandang di kalangan kaum Quraisy. Ia dikenal sebagai “Singa Gurun” karena mahir dalam membaca peta di padang pasir. Abul ‘Ash merupakan keponakan Sayyidah  Khadijah   sendiri dan sangat dekat dengannya. Ia merupakan seorang pedagang sukses seperti bibinya, Sayyidah  Khadijah  . Dalam sekali ekspedisi dagangnya, Abul ‘Ash bisa membawa 1000 ekor unta bermuatan penuh yang dibantu oleh 200 orang pembantu laki-laki. Orang-orang sudah terbiasa menginvestasikan barang dagangannya kepada Abul ‘Ash karena kejujuran dan amanahnya dalam berniaga.

Pinangan Abul ‘Ash bin Rabi’ kepada Zainab diterima oleh orang tua Zainab, Muhammad dan Sayyidah  Khadijah  , lalu mereka berdua dinikahkan. Selanjutnya, Zainab pindah ke rumah suaminya itu. Tentu saja, Fatimah merasa sedih. Hari itu merupakan hari paling membahagiakan buat Zainab. Tapi, tidak bagi Fatimah. Baginya, pernikahan itu merupakan isyarat bahwa dia dan sang kakak, Zainab, akan segera berpisah. Fatimah kecil akan kehilangan ibu keduanya yang senantiasa menjaga dan mengasihinya.

Kepergian sang kakak, Zainab, sungguh menggoreskan kesedihan bagi Fatimah. beliau kadang menangis tersedu, tidak kuat membayangkan kehampaan yang kini dirasakan ketika sang kakak harus pergi meninggalkan rumah tempat mereka berdua mengisi hari-hari dengan keceriaan. Melihat hal ini, sang ayah, Muhammad, datang untuk menenangkan putri bungsunya tersebut. Diusapnya air mata Fatimah. Beliau lalu memeluk Fatimah dengan kasih sayang, sehingga dia tidak berdaya melawan pelukan sang ayah yang mampu menenteramkan hati beliau.

Begitu pula dengan sang ibu, Sayyidah  Khadijah  . beliau selalu menenangkan hati Fatimah kecil itu ketika merindukan kakaknya, Zainab. Tapi, Fatimah tidak bisa mengingkari hati kecilnya. Beliau senantiasa rindu kepada sang kakak Zainab. Oleh karenanya, ketika sang kakak, Zainab, datang berkunjung ke rumah ayahnya, tidak ada yang paling berbahagia kecuali Fatimah kecil yang mungil. Dia akan melompat ke pangkuan Zainab lalu menangis kegirangan.

Perpisahan ini adalah awal dari bulir-bulir kesedihan dalam hati Fatimah yang tumbuh dari rasa cinta yang sangat dalam. Namun, Fatimah masih memiliki dua kakak lagi, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum, yang akan menemani hari-harinya , Fatimah kecil bisa mengisi hari-harinya dengan kedua kakaknya yang lain. Tetapi, ini pun tidak berlangsung lama, karena kedua kakaknya tersebut dilamar oleh dua orang putra Abdul ‘Uzza bin Abdul Muththalib (yang lebih dikenal dengan Abu Lahab) yaitu Utbah dan Utaibah. Pinangan itu sendiri disampaikan oleh paman Muhammad, Abu Thalib, karena beliau merupakan tokoh terkemuka kaum Quraisy. Sang ayah, Muhammad, menerima pinangan itu setelah meminta pendapat dua putrinya lalu keduanya diam, dan sesudah sang istri, Sayyidah  Khadijah  , menyatakan persetujuannya.

Fatimah kini merasa sedih dengan kesendiriannya. Rumah yang dulu ramai ketika masih ada kakak-kakaknya, kini terasa sepi. Ketiga kakak Fatimah sudah pergi dari rumah Nabi. “Lalu, siapa lagi yang akan mengurusku ? Pada siapa aku bisa bersandar? Kapan aku bisa bercanda kembali bersama mereka??”bisik Fatimah dalam hati.

Diriwayatkan bahwa beliau menangis tatkala Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah. Sang ibunda, Sayyidah  Khadijah  , bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai putriku?” beliau menjawab, “Jangan biarkan seseorang mencabut aku darimu,wahai Ibu dan Ayahku.Sungguh, aku tak mampu untuk berpisah dari kalian berdua.” Tersenyumlah Sayyidah  Khadijah   mendengar ucapan putrinya itu. Dengan penuh kasih sayang dan cinta, sang bunda berkata, “Engkau tak akan meninggalkan kami, Fatimah, kecuali jika engkau menginginkannya.”

Kini Fatimah kecil mulai belajar mandiri. Beliau harus mandiri. Perpisahan ini hanya berujung jarak, bukan berujung waktu. Tentu saja, Fatimah masih mempunyai dua “Malaikat” yang akan selalu menjaga dan membimbingnya. Mereka adalah kedua orangtuanya, Muhammad SAW dan Sayyidah  Khadijah   RA.

Fatimah tumbuh berkembang di antara ibu yang mulia, yang menanamkan kemuliaan dan kasih sayang dalam jiwanya yang suci. Beliau tumbuh dalam buaian kasih sang bunda yang menempanya dengan kebijakan dan keimanan. Begitu juga dengan sang ayah, beliau memperlakukan putri bungsunya itu dengan baik, bahkan mengistimewakannya. Jika putrinya marah, beliau ikut marah. Dan, jika putrinya senang, beliau pun ikut senang.

Kesendirian Fatimah memang jadi kenyataan pahit. Namun itu akan menjadi sebuah permulaan bagi pribadi Fatimah yang sesungguhnya. Ketika usia beliau masih belia, belum genap lima tahun, harus terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendiri. Tidak ada lagi tangan sang kakak, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum. Memang, pekerjaan itu berat, tapi di sinilah pendidikan karakter dimulai. Fatimah kecil mulai belajar tentang kesungguhan, semangat, dan kerja keras yang akan berguna di masa mendatang dalam mengarungi kehidupan.

Fatimah sering keluar untuk menemani ayahandanya mengelilingi sudut-sudut kota Makkah. Sungguh, beliau sepenuhnya menikmati pribadi ayahandanya berupa akhlak kenabian yang agung pada saat Allah mendidiknya dengan sebaik-baik pendidikan, menyucikan jiwanya dengan sepenuh kesucian. Fatimah juga memperoleh kesan mendalam dan menikmati pribadi bundanya, Sayyidah  Khadijah  , berupa sifat-sifat kesucian dan kebersahajaan. beliau berusaha untuk tumbuh dalam akhlak yang mulia dan menjadikan ayah bundanya sebagai figur utama serta teladan yang baik dalam setiap pergaulannya.

Dengan demikian, Fatimah kecil tumbuh di rumah penuh berkah; dalam kepribadian yang terpelihara secara sempuma, kemuliaan jiwa, cinta pada kebaikan, dan akhlak yang mempesona. beliau memelihara pengajaran ayahandanya sebagai nabi umat, rasul penuh rahmat, pembimbing dan pendidik terbaik yang menunjukkan jalan yang lurus.

3.2 Sosok yang Tegar Melihat Keadaan Ayah Bunda
Fatimah hampir belum mencapai usia lima tahun ketika ia menyaksikan ayahandanya senang untuk menyendiri (ber-khalwat) di Gua Hira. Ya, ketika kaum Quraisy menyembah patung, mabuk- mabukan, berjudi, berzina dan lain-lain, sang ayah, menghindar dari kehidupan manusia yang nilai-nilai moralitasnya telah terkikis, keluarga yang hancur, dan kehidupan sosial yang terpuruk. Beliau lebih senang menyendiri memikirkan hakikat penciptaan alam semesta dan bertafakkur. Fatimah kecil selalu tertarik perhatiannya kepada kecenderungan ibunya yang tidak mau membiarkan sang ayah merasa kesunyian. Setiap sang ayah berangkat untuk ber-khalwat dari rumah, sang ibunda belum mau masuk ke dalam rumah selagi ayahnya masih tampak dari kejauhan, belum hilang dari pandangan mata. Bila sang ayah telah pergi, beliau tinggal bersama sang bunda dan Ali, karena ketiga kakaknya sibuk mengurus rumah tangganya masing-masing.

Menginjak usia 40 tahun, malam ke-27 Ramadhan, Nabi Muhammad Rasulullah SAW menerima wahyu dan mengemban risalah kenabian, datanglah Jibril menarik dan memeluknya dengan erat. Rasulullah SAW. pun terkejut mendengar suara yang tak dikenal itu, lalu berkata, ‘Aku tidak bisa membaca.” Beliau berkata, “la mulai mencekik leherku dangan keras. Kemudian melepaskan (cekikannya) dan berkata lagi, ‘Bacalah!’”

Rasulullah SAW menjawab dengan jawaban yang sama, sehingga Jibril mengulangi perintah itu sebanyak tiga kali, lalu berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang meciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-4).

Rasulullah SAW tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Beliau lantas berlari ke rumah dan menemui istri tercinta, Sayyidah  Khadijah  . Di rumah, Fatimah kecil yang baru berumur lima tahun itu belum mampu mengamati kegalauan sang ayah dan ibunya pada saat ayahandanya mengalami ketakutan luar biasa seraya berkata, “Selimuti aku… selimuti aku. Tutupilah aku.. tutupilah aku!” Fatimah melihat wajah sang ayah pucat dan badannya menggigil. Ketika keadaan mulai tenang, Rasulullah bertanya kepada sang istri, Sayyidah  Khadijah  , “Ada apa denganku? Adakah sesuatu yang terlihat aneh pada diriku?” Selanjutnya, beliau menceritakan kisah yang baru saja menimpanya, “Sungguh, aku takut akan diriku sendiri.”

Sang istri menyimak dengan tenang apa yang diceritakan suaminya, lalu berkata, “Bergembiralah sayang, Allah senantiasa melindungi kita, tenangkan dan mantapkan hatimu! Demi Allah, yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya, aku berharap engkau akan menjadi Nabi bagi umat ini! Allah sama sekali tidak akan menistakan engkau selamanya. Bukankah engkau suka bersilaturahim, selalu berkata jujur, suka menolong orang kesusahan, selalu menghormati tamu, dan selalu membantu orang yang tertimpa musibah…!”

Tak lama kemudian, Fatimah melihat sang bunda menenangkan ketakutan ayahnya dengan mendekap erat tubuhnya. Sayyidah  Khadijah   selalu menenangkan Rasulullah SAW. Kedewasaan Sayyidah  Khadijah   membuat sang suami luluh dan kembali tenang. Tentu saja, beliau sangat paham dengan perangai sang suami dan percaya bahwa yang terjadi pada suaminya adalah sebuah perkara besar dan mulia.

Fatimah kecil mengalami kegetiran yang sama dengan sang ibu, ketika melihat apa yang terjadi pada ayahnya. Tentu saja, ia takut dan khawatir menyaksikan ekspresi ayahnya yang menggigil ketakutan ketika menerima wahyu. Di tengah kekhawatiran itu, Fatimah sadar bahwa sang ayah memerlukan pertolongan. Dia bersama ibunya, Sayyidah  Khadijah  , tetap menemani, menyelimuti, dan memeluk Rasulullah SAW. Apa pun yang terjadi, Rasulullah SAW adalah tumpuan dan perisai baginya.

Selang beberapa saat kemudian, masyarakat Makkah dan sekitarnya digemparkan oleh kenabian dan kerasulan ayahnya, Muhammad SAW. Peristiwa besar yang mengguncangkan masyarakat itu mengalihkan perhatian Fatimah dari soal-soal kepentingannya sendiri kepada masalah yang sedang dihadapi ayahnya sekarang. Semua yang dipahami Fatimah adalah perubahan luar biasa yang terjadi dalam hubungan sang ayah dengan kaumnya. Beliau  dihadapkan pada kenyataan tentang benturan hebat dan pertarungan sengit antara kekuatan paganisme (keberhalaan) yang sudah mengakar dalam pikiran manusia selama berabad-abad dengan agama yang baru mulai tumbuh. Suatu pertarungan yang tak akan berhenti.

Kendati Fatimah masih kanak-kanak yang suka bermain, namun dari hari ke hari setapak demi setapak, beliau terbiasa menyaksikan ketegangan suasana Makkah yang makin panas. Lama-kelamaan, beliau merasakan jalannya proses yang terjadi di sekitar kehidupan keluarganya. Secara tidak sadar, ia meninggalkan kebiasaan yang lazim pada anak-anak seusianya, seperti bermain, manja, ingin dipuji, dan sebagainya.

Kehidupan ayah dan ibunya mempercepat kesanggupan Fatimah menghadapi hal-hal baru yang membebani pundaknya. Tentu saja, Allah menghendaki agar Fatimah dapat menempati kedudukan semestinya sebagai seorang putri nabi dan rasul, putri pahlawan kebenaran, yang berani menghadapi semua orang Quraisy seorang diri hanya berbekal iman dan dukungan sekelompok orang miskin dan para budak yang hidupnya tertindas.

Banyak episode yang menyakitkan yang mesti Fatimah hadapi sepanjang hidupnya. Kesedihan demi kesedihan harus dia rasakan sejak kecil hingga ajal menjemputnya. Namun, berbekal keimanan yang kokoh dan kesabaran yang tinggi, satu per satu cobaan itu dia hadapi dan berharap Tuhannya akan memberi balasan yang setimpal.

Salah satu kepahitan yang dihadapi Fatimah adalah ketika ia mendengar cerita ibunya Sayyidah  Khadijah  , bahwa sang ayah dan para sahabatnya mengalami fitnah dan berbagai siksaan dari kaum kafir Quraisy, terutama dari kalangan yang lemah dan tak berdaya seperti para budak. Kaum Quraisy sebagai pemilik budak, mereka seenaknya melakukan berbagai penyiksaan kepada para budak itu karena dianggap telah keluar dari agama yang mereka anut dan kini beralih mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad.

Hampir setiap hari Fatimah dan sang ayah mendengar dan menyaksikan penyiksaan terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Ayahnya sendiri dilindungi oleh Allah SWT dan pamannya, Abu Thalib. Namun, lama kelamaan, sang ayah tidak mampu melindungi mereka dari penyiksaan-penyiksaan itu. Suatu hari, sang ayah berkata kepada mereka, “Jika kalian hendak hijrah ke Habasyah, kalian akan mendapati seorang raja yang bijak, tidak menzalimi siapa pun, dan Allah akan memberikan kalian kebebasan.”

3.3 Menjadi Pembela Sang Ayah
Fatimah mulai memahami jawaban atas berbagai pertanyaan, bahwa ayahnya datang kepada kaumnya dengan membawa agama yang baru. Agama yang menyeru kepada pentauhidan ibadah, yakni hanya menyembah Sang Pemelihara langit dan bumi, serta mencampakkan apa yang mereka sembah selain-Nya. Agama yang menyeru kepada kemuliaan akhlak, berbuat baik kepada tetangga, menjaga kemuliaan diri, kesucian, dan amanat. Namun, Fatimah berpikir, jika ayahku menyeru mereka menuju semua kebaikan itu, lalu mengapa mereka memusuhi dan menyakitinya? Fatimah tidak mendapatkan jawaban kecuali bahwa ia beriman kepada risalah yang dibawa sang ayah dan siap memanggul kepedihan bersamanya.

Fatimah juga menyertai sang ayah berdakwah. Setiba di Masjidil Haram, beliau SAW mcngerjakan shalat, sedangkan Fatimah menunggu tidak jauh dari tempat sang ayah berdiri. Nah, ketika sang ayah bersujud, orang-orang Quraisy berdatangan mendekati, di antaranya Uqbah bin Abi Mu’aith. Temyata, dia membawa seonggok kotoran sembelihan ternak lalu dilemparkan ke atas punggung Rasulullah SAW yang mulia. Beliau tetap sujud, tidak mengangkat kepala hingga Fatimah datang mendekat. la mengambil dan menyingkirkan kotoran tersebut seraya menyumpahi orang yang melemparinya.

Ketika Rasulullah selesai shalatnya, beliau memegang Fatimah dengan kedua tangannya dan menenangkannya dari ketakutan. Kemudian, Rasul mendoakan laknat untuk mereka, seraya mengangkat kedua tangan beliau tinggi-tinggi, “Ya Allah, binasakanlah Quraisy! Ya Allah, binasakanlah Quraisy! Ya Allah, binasakanlah Quraisy!” Setelah itu, beliau menyebut nama mereka, “Ya Allah, binasakanlah Amru bin Hisyam (Abu Jahal), Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abi Mu’aith, dan Umarah bin Walid.”

Kontan saja, orang-orang musyrik itu terdiam mendengar doa Rasulullah SAW. Mereka hanya memicingkan mata. Lalu, Rasulullah SAW kembali ke rumah ditemani sang putri, Fatimah. Mengenai orang­ orang musyrik ini, di kemudian hari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah, sungguh aku melihat mereka semuanya bergelimpangan menjadi mayat pada perang Badar. Mereka ditarik dan dimasukkan ke sumur, kecuali Umayyah bin Khalaf yang dimutilasi karena berbadan besar.” (HR. Bukari Muslim).

Hari berikutnya, Fatimah menyaksikan sang ayah sedang melaksanakan shalat di depan Ka’bah. Ketika beliau sedang sujud, orang­ orang kafir Quraisy datang mengimpit dan mencekiknya. Fatimah melihat perlakuan mereka kepada sang ayah. Spontan, ia berlari menghampiri sang ayah sambil menangis dan berteriak histeris, lalu membentak mereka, “Terkutuklah kalian! Apa kalian tega membunuh seseorang yang telah mengakui Allah sebagai Rabb-nya?” Mendengar bentakan Fatimah itu, mereka pun menjauh dan berpencar. Itulah suara seorang perempuan! Suara yang keluar dari lubuk kelembutan hati seorang perempuan! Itu suara Fatimah yang kuat, tegas, dan berpengaruh. Sungguh, suaranya bagaikan petir yang menggelegar, membuat gunung dan bukit ikut bergetar, seperti firman Allah, “Seakan- akan mereka keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 50-51).

Suatu ketika, Abu Jahal melihat Fatimah sedang sendirian. Tiba- tiba, Abu Jahal menumpahkan kemarahannya kepada Fatimah kecil. Ia menampar pipi Fatimah dengan keras. Kontan saja, Fatimah menangis dan mengadu kepada sang ayah. Sang ayah sedih melihat Fatimah menangis, lalu beliau berkata, “Wahai Anakku! Pergilah keAbu Sufyan!”

Fatimah mendatangi Abu Sufyan. Ia menceritakan kejadian yang menimpanya. Abu Sufyan yang ketika itu belum masuk Islam menggenggam tangan Fatimah lalu membawanya ke hadapan Abu Jahal. “Tamparlah pipinya seperti dia menamparmu!” perintah Abu Sufyan seraya menunjuk Abu Jahal.

Fatimah seperti mendapat keberanian luar biasa. Ia pun lalu menampar pipi Abu jahal dengan keras. Setelah itu, Fatimah kecil pulang ke rumah dan menceritakan peristiwa yang baru dialaminya kepada sang ayah. Rasulullah yang senang mendengar cerita sang anak, tersenyum lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau lupakan Abu Sufyan!”

3.4 Ditinggal Sang Bunda Tercinta
Fatimah harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sang ibu yang sangat dicintainya, Sayyidah  Khadijah   RA, mulai lemah dan sakit. Fatimah menemani sang bunda. Ibundanya bercerita kepadanya apa yang ia dengar tentang dakwah ayahnya kepada kaumnya adalah untuk menyelamatkan mereka. Fatimah juga mengungkapkan kegembiraannya karena beliau bersama anggota keluarganya sudah beriman dan memeluk agama Islam. Beliau  yakin sepenuhnya bahwa dengan iman dan Islam, hubungan kekeluargaannya tidak akan putus selama-lamanya, di dunia dan akhirat. Fatimah bertambah sejuk hatinya karena beroleh sambutan mesra dari sang bunda.

Sambil membelai rambut putri bungsunya itu, Sayyidah  Khadijah   yang sudah berusia lanjut berkata lirih, “Wahai anakku, apakah yang akan engkau alami sepeninggal ibu nanti? Sungguh, ibu telah beroleh nasib baik di dunia, dan entah sekarang atau esok ibu akan pergi untuk selama-lamanya. Kedua saudaramu, Zainab dan Ruqayyah, sudah memperoleh ketenteraman hidup di bawah naungan suaminya masing-masing.

Ummu Kultsum dalam umurnya yang sekarang dan dengan pengalamannya dia belum mendapat ketenteraman yang diinginkan. Adapun engkau, wahai Fatimah, dalam usiamu yang masih muda akan menghadapi kehidupan seperti sekarang ini, yakni kehidupan penuh kesukaran dan akan menghadapi cobaan serta penderitaan yang lebih banyak lagi.

Fatimah seketika ingat sang ayah, lalu menanggapi kata-kata sang bunda, “Tenang sajalah, Bu! Ibu tidak usah mengkhawatirkanku. Aku tidak apa-apa, Bu’ Biarkan saja orang-orang Quraisy melampiaskan kedurhakaan dan kejahatannya! Biarkan saja mereka menindas dan memusuhi orang-orang yang telah memeluk Islam dengan bengis dan kejam, karena setiap orang beriman sanggup menghadapi penyiksaan seberat apa pun.”

Setiap hari, Fatimah ditemani ketiga kakaknya setia menemani sang ibu, Sayyidah  Khadijah  , yang berbaring di tempat tidur dan terkulai lemah. Mereka khawatir sang ibu tidak mampu bertahan dengan rasa sakitnya. Air mata mereka tak bisa tertahankan. Dan, Fatimah Az-Zahra, merupakan orang yang paling bersedih melihat kondisi ibunya. Beliau berandai jika penyakit sang ibu bisa ditukar dengan dirinya.

Fatimah tidak beranjak dari tempat tidur sang ibu. Beliau  juga tidak memperlihatkan kondisi dirinya yang pucat dan kelu karena terus-menerus menangis. Tentu saja, beliau berusaha menyembunyikan rasa sedihnya dengan senyuman, kendati batinnya berteriak tidak rela jika harus kehilangan ibunda tercinta.

Rasulullah SAW yang tetap sibuk berdakwah pun ikut bersedih karena belahan hatinya sedang terbaring lesu seiring penyakitnya yang semakin parah. Beliau duduk di samping sang istri, lalu mcmbersihkan wajah istrinya dengan tangannya yang mulia dan membisikkan kalimat­-kalimat penghibur sehingga membuatnya nyaman dan merasa dicintai. Itulah kondisi keluarga Rasulullah SAW tercinta. Mereka keluar dari penderitaan (karena boikot) menuju penderitaan yang lain yang lebih sulit.

Tiga tahun sebelum hijrah, akhirnya sang bunda yang sangat beliau cintai wafat di pangkuan ayah. Sang bunda wafat pada 11 Ramadhan dalam usia 65 tahun. Tentu saja Fatimah sangat berduka karenanya. Bahkan mengalami kesedihan ganda, beliau bersedih ditinggal sang bunda juga bersedih melihat kesedihan ayahnya akibat kematian ibunya. Padahal, sebelumnya, ayahnya itu telah kehilangan orang yang dicintainya juga, Abu Thalib.

Tidak ada pilihan bagi Fatimah, selain harus meningkatkan segala kemampuan dan kesabaran dalam menanggung semuab cobaan penderitaan itu dengan semata-mata mengharap Ridha Allah. Dengan setia, beliau mendampingi ayahnya untuk menggantikan peran ibunya, Sayyidah  Khadijah  . Oleh karenanya, Fatimah digelari dengan Ummu Abiha, ibu bagi ayahnya. Fatimah memahami tugas ayahnya dan mengetahui tanggung jawab yang ada di pundaknya sendiri. Beliau menjadi bunga yang semerbak wangi di dalam rumah yang telah ditinggal pergi sang ibu; mengeringkan air mata, menghibur hati, dan ikut berjihad di sisi Rasulullah SAW.

Fatimah membagi tanggung jawab di rumah Rasul bersama sang kakak, Ummu Kultsum, sehingga terasa lebih ringan. Fatimah merasa lebih patut memikul beban, maka beliau meningkatkan kesungguhan dan menanggungnya dengan penuh kesabaran. Fatimah pun semakin bersabar dan teguh akan beban yang dipikulnya.

3.5 Masa Hijrah dan Tinggal di Madinah
Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau tidak mengajak langsung kedua putrinya, Ummu Kultsum dan Fatimah. Keduanya tetap tinggal di Makkah sampai sang ayah mengutus seorang sahabat untuk mengawal keduanya menuju Madinah. Rasa kehilangan sang ayah di samping mereka menyebabkan kegelisahan yang luar biasa. Tentu saja, mereka tak bisa tenang sampai mengetahui persis kedatangan sang ayah dengan selamat di Madinah.

Mereka bersama kaum perempuan Muslim yang lain, seperti Ummu Rumman (istri Abu Bakar Shiddiq), Aisyah (putri Abu Bakar yang dikhitbah Nabi sebelum hijrah), dan Asma binti Abu Bakar, semuanya dapat menjadi pelipur keluarga Nabi.

Kita juga tidak melupakan keluarga paman Nabi SAW. Abbas bin Abdul Muththalib dan Istrinya Ummu Fadhl yang telah masuk Islam dan beriman, serta menjadi ibu pengasuh yang memberikan kasih sayang kepada putri-putri Rasulullah SAW.

Akhimya, utusan Rasulullah yakni Zaid bin Haritsah datang untuk menjemput dua perempuan kakak-beradik tersebut. Ikut juga dalam rombongan ini, Ummul Mukminin, Saudah binti Zam’ah. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-13 kenabian saat Fatimah berusia 18 tahun. Zaid keluar bersama mereka di bawah kegelapan malam untuk melakukan perjalanan menuju Madinah. Bayangan wajah sang ayah membuat Fatimah kian semangat dan tidak memedulikan penatnya perjalanan. Beliau ingin segera sampai di Madinah, sebagai kota tujuan.

Dalam riwayat Ibnu Hisyam, dituturkan bahwa perjalanan hijrahnya Fatimah ini tidak luput dari gangguan kaum kafir Quraisy. Pada saat mulai menempuh perjalanan ke arah utara, mereka dikejar oleh musyrikin Quraisy yang dipimpin oleh Huwairits bin Naqidz orang yang selalu mengganggu, memaki-maki dan menyakiti hati Rasulullah SAW. Unta yang dikendarai Fatimah dan Ummu Kultsum dikejutkan sedemikian rupa hingga lari tersentak dan dua putri Rasul tersebut terpelanting di atas pasir.

Fatimah yang berbadan kurus harus merasakan kepedihan di tengah perjalanan hijrahnya. Beliau beserta sang kakak dengan susah payah melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah dalam keadaan kakinya agak terkilir dan bengkak. Di Madinah, setiap orang yang mendengar cerita tentang kejahatan Huwairits ini mengutuk dan melaknatinya.

Kelak, pada hari penaklukkan kota Makkah tahun ke-8 Hijriyah, Rasulullah SAW menyebut nama Huwairits, beliau menjadikannya termasuk salah seorang yang harus dibunuh meski mereka ada di bawah selimut Ka’bah, mengingat perlakuan mereka yang banyak menyiksa dan menganiaya Rasulullah dan kaum Muslimin sebelum hijrah.

Ketika masjid dan rumah Rasulullah SAW di Madinah rampung, Fatimah dan Ummu Kultsum tinggal di situ. Rumah ini bukan istana yang megah atau gedung yang mewah, melainkan beberapa kamar sederhana yang menghadap ke halaman Masjid Nabawi. Bagian-bagiannya ada yang terbuat dari batu-batu bata yang disusun dengan perekat tanah, dan ada pula yang terbuat dari batang dan pelepah kurma. Bagian atapnya dari pelepah kurma yang tersusun sedemikian rupa.

tentang tingginya rumah itu, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah SAW berkata, “Dulu aku pernah masuk ke rumah Nabi SAW, ketika aku baru menginjak usia remaja dan aku dapat menyentuh atapnya dengan tanganku.” Perabotan di dalamnya menurut ukuran kota Madinah pada masa itu adalah amat sederhana, kasar, dan di bawah standar,  tempat tidur beliau terbuat dari kayu, diperlunak sedikit dengan “kasur” terbuat dari serabut (ijuk) pohon kurma. Di rumah sederhana inilah Fatimah dan sang kakak, Ummu Kultsum, tinggal.

3.6 Menikah Dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA
Di kota Madinah Rasulullah SAW mempersaudarakan para Muhajirin dengan orang orang Anshar. Tujuannya untuk menghilangkan perasaan “asing” di kalangan Muhajirin, dan untuk lebih mengakrabkan pergaulan serta memperkokoh kerukunan dan persatuan dua golongan yang akan menjadi tulang punggung kekuasaan Islam dan kaum Muslim.

Baginda Rasul saat itu mempersaudarakan puluhan orang, jumlahnya 90 orang, 45 dari kaum Muhajirin dan 45 dari kaum Anshar, seperti Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin Al-Khattab dengan Utsman bin Malik dan begitu juga yang lainnya.

Sebuah riwayat menuturkan, bahwa ketika semua telah dipersaudarakan oleh Nabi dan semua berbahagia dengan persaudaraan itu, tiba-tiba Sayyidina Ali bin Abi Thalib muncul lalu berkata, “Saya belum dipersaudarakan dengan siapa pun.” Maka, Nabi SAW berkata, “Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.” Tcntu saja, dengan jalinan persaudaraan terscbut makin dekat lagi kedudukan Ali bin Abi Thalib dengan Rasulullah SAW.

Tak lama kemudian, Ummu Kultsum dinikahkan oleh Rasulullah SAW dengan Utsman bin Affan setelah Ruqayyah meninggal dunia. Ketika itu, Utsman mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa dia tidak kuat menahan rasa sedih kerena kehilangan pendamping hidup. Dia berkata, “Ya Rasulullah, kini pertalianku denganmu sudah putus.”

Rasulullah SAW sangat memahami kesedihan menantunya tersebut, lalu beliau menenangkan Utsman dengan menikahkan putrinya, Ummu Kultsum. Tak pelak, pernikahan ini membuat sahabat Rasul tersebut kembali bahagia dan Ummu Kultsum juga merasa tenang dan terhormat dengan pernikahan ini. Maka, Utsman dijuluki “Dzan Nurain,” Pemilik Dua Cahaya.

Kini, rumah Rasulullah SAW kosong. Ummu Kultsum tidak lagi tinggal di sana. Fatimah tinggal sendirian. Namun, kehidupan Fatimah kini menjadi tenang untuk beberapa waktu usai hijrah dari Makkah. Fatimah tumbuh semakin besar. Kesehatan dan kekuatannya kembali bugar. Keremajaannya mulai tumbuh dan kewanitaannya pun juga mematang.

Kecerdasan, kecantikan, kesantunan, dan keindahan watak Fatimah sudah terkenal semenjak beliau menetap di Makkah. Apalagi sekarang yang kian matang jiwanya di rumah kenabian. Tak heran, jika kemudian muncullah keinginan para sahabat untuk menikahinya. Fatimah saat itu berusia 18 tahun, yang merupakan masa kematangan sebagai seorang perempuan.

Datanglah Abu Bakar menemui Rasulullah SAW untuk melamar Fatimah, tapi beliau menjawab, “Wahai Abu Bakar, hingga saat ini ketetapan (qadha) mengenai hal itu belum lagi turun.” Kemudian, Abu Bakar menceritakan hal itu kepada Umar, dan Umar bertanya, “Apakah Rasulullah tidak menerimamu, wahai Abu Bakar?” Mendengar pertanyaan itu, Abu Bakar berkata pada Umar, “Temuilah Rasulullah dan katakan kalau engkau ingin meminang Fatimah!”

Umar pun pergi untuk melamar Fatimah. Akan tetapi, Rasulullah berkata kepada Umar seperti yang dikatakannya kepada Abu Bakar, “Wahai Umar, hingga saat ini ketetapan (qadha) mengenai hal itu belum lagi turun.” Usai kembali dari Nabi, Umar langsung menemui Abu Bakar dan menuturkan apa yang terjadi pada dirinya.

Abu Bakar dan Umar kemudian pergi menemui Abdurrahman bin Auf dan memintanya untuk meminang Fatimah, “Engkau orang yang paling kaya di antara Quraisy. Jika kau menemui Rasulullah dan melamar Fatimah untuk dirimu, niscaya Allah akan menambahkan kekayaan dan kemuliaan kepadamu.” Lalu, Abdurrahman menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengan Fatimah.” Namun, beliau menolaknya secara lembut. Abdurrahman kembali menemui kedua sahabat itu seraya berkata, “Jawaban Rasulullah sama saja.”

Ketiga sahabat utama, Abu Bakar, Umar, dan Abdurrahman bin Auf telah melamar Fatimah dan ditolak secara halus oleh Baginda Nabi. Kini, Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu Nabi yang dididik dan dibesarkan bersama Fatimah di rumah ayahnya, maju meminang Fatimah.

Sayyidina Ali memberanikan diri maju untuk meminang Fatimah usai didorong oleh keluarganya, atau dalam riwayat lain oleh teman- temannya termasuk Abu Bakar dan Umar. Mereka mengingatkan Ali tentang keberadaannya sebagai pemuda yang pertama masuk Islam, dan hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah SAW, juga kedudukan ayah dan ibunya yang dahulu mengasuh beliau sejak usia enam tahun.

Pada waktu yang dianggap tepat, Ali bin Abi Thalib menghadap Baginda Rasul. Usai mengucapkan salam, ia duduk di dekat beliau. Ali tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun karena malu. Mulut serasa terkunci dan tenggorokan serasa tersumbat. Tak tahulah apa yang hendak dikatakan, yang ada hanyalah malu. Namun, ayah Fatimah mengerti, dari gerak-geriknya Ali mempunyai sesuatu yang hendak dikatakan, tetapi merasa berat. Karena itu, beliau mendahului bertanya, “Apakah engkau ada keperluan, wahai Ali?”

Dengan suara lirih dan kepala menunduk, Ali menjawab, “Saya hendak menyebut Fatimah putri Rasulullah?” (Masyarakat Arab pada masa itu biasa menggunakan kata “menyebut” sebagai kiasan “melamar.”).

Dengan wajah berseri-seri, Rasulullah SAW menyahut, “Marhaban wa ahlan!” (sebuah ungkapan sambutan dengan gembira dan dianggap sebagai keluarga sendiri). Rasulullah SAW tidak menambah satu kata pun.

Beliau diam agak lama. Maka, Ali pun minta izin untuk meninggalkan tempat. la keluar dari rumah Rasulullah dengan pikiran bingung dan perasaan resah, tidak tahu bagaimana memberi jawaban kepada teman-temannya bila mereka bertanya. Ketika bertemu lagi dengan mereka, Ali menjawab setelah lama didesak “Tak tahulah. Aku sudah berbicara kepada beliau mengenai soal ini, tetapi jawaban beliau tidak lebih dari dua perkataan Marhaban wa Ahlan .Mendengar hal itu, teman-temannya berteriak kegirangan, “Cukup! Jawaban seperti itu dari Rasulullah sudah cukup! Beliau menyambut gembira dan rela engkau menjadi keluarganya.” Tentu saja, Ali bin Abi Thalib gembira mendengar penjelasan tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, Rasulullah SAW mengundang sejumlah sahabat untuk menyaksikan pernikahan putri beliau, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib. Beliau memerintahkan Anas bin Malik untuk mengundang Abu Bakar, Umar bin al-Khalhthab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan sekian orang dari kelompok Anshar untuk menjadi saksi dalam pernikahan ini

Ketika upacara ini berlangsung, Ali tidak di tempat karena ia ditugaskan oleh Rasul untuk satu urusan. Yang hadir disuguhi hidangan dari kurma. Sesaat kemudian Ali datang, Rasul tersenyum kepadanya seraya berkata, “Wahai Ali! Sesungguhnya Allah memerintahkanku menikahkanmu dengan Fatimah. Sungguh, aku telah menikahkanmu dengannya dengan maskawin 400 ratus mitsqalperak.”

Mendengar ijab dari Rasulullah SAW, Ali menjawab, “Radhitu ya Rasulallah” (Aku ridha/puas hati, wahai Rasulullah). Usai menjawab demikian, Ali sujud sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT.

Pernikahan ini terjadi pada bulan Rajab, yakni beberapa bulan setelah kedatangan mereka di Madinah. Menjelang tahun kedua sekembalinya Ali dari Perang Badar, ia telah siap dengan sebuah rumah khusus untuk menyambut hidup baru bersama istrinya.

Kendati pernikahan Fatimah dilaksanakan dengan sederhana, namun Jabir bin Abdullah mengomentari, “Tatkala kami hadir pada pernikahan Ali dan Fatimah, maka kami tidak melihat pernikahan yang lebih indah daripada itu.”

3.7 Peran Sayyidah Fatimah Az-Zahra  di Medan Perang
Fatimah dan sang suami adalah simbol istimewa dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW sebagaimana sahabat beliau yang awal, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan yang lainnya. Dalam beberapa kesempatan, jika tidak ada halangan, Fatimah menyertai perang yang diikuti Nabi dan sang suami dengan segenap semangatnya, perasaannya, dan kehidupannya.

Pada Perang Uhud, contohnya, Fatimah punya andil besar di dalamnya. Beliau  bersama kaum wanita lainnya memberikan pertolongan kepada pasukan kaum Muslimin yang terluka di barisan belakang. Mereka merawat dan memberikan bantuan kepada pasukan Islam.

Dalam Perang Uhud ini, pundak Rasulullah SAW dipukul oleh penunggang kuda dari Quraisy, Abdullah bin Qum’ah. Namun, beliau tidak terluka parah karena memakai baju besi. Dia juga memukul pipi Nabi bagian atas dengan keras hingga gigi beliau patah. Usai perang, Fatimah menghampiri sang ayah yang terluka. Beliau  membersihkan dan mencucinya. Sedangkan sang suami, Ali bin Abi Thalib, menuangkan air dengan perisai. Ketika luka Rasul belum juga kering, malah darah kian banyak keluar, Fatimah segera menyobekkan sepotong tikar dan membakarnya, lalu menempelkannya pada luka ayahnya. Maka, darah pun berhenti mengalir. Gigi seri beliau tanggal pada hari itu.

3.8 Kedudukan Sayyidah Fatimah di Antara Istri-istri Rasul

Fatimah merupakan putri yang paling dicintai Rasulullah SAW. Selain karena paling kecil, Fatimah seakan-akan menjadi perantara Rasulullah dengan istri-istrinya, sekaligus menjadi kawan bagi semuanya.

Suatu ketika, Aisyah pernah bertanya pada Rasulullah, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?

Beliau menjawab, “Fatimah.”

“Kalau laki-laki?”

“Suami Fatimah.”

Dari sinilah, para istri Rasulullah mengetahui kecintaan beliau kepada putri bungsunya itu begitu besar.

Hubungan Fatimah dengan istri-istri ayahnya didasari oleh kemuliaan masing-masing dan kedekatan. Mereka juga mencintai Fatimah. Bahkan, mereka seakan berlomba-lomba mencintainya. Pernah suatu hari, para istri Nabi dibakar cemburu. Mereka mempersoalkan Aisyah dan meminta Rasulullah berlaku adil. Mereka meminta Fatimah mengadukan hal itu kepada ayahnya.

Fatimah memenuhi keinginan mereka dan kemudian menemui Rasulullah SAW menyampaikan aspirasi mereka. Ketika itu Rasulullah SAW sedang bersama Aisyah.

“Ya Rasulullah, aku diutus oleh istri-istrimu yang lain. Mereka meminta keadilan seperti yang didapat oleh binti Abi Quhafah (anak perempuan Abi Quhafah, nama lain Abu Bakar, yakni Aisyah)/’

Sang ayah tersenyum, lalu berkata, “Putriku, tidakkah engkau mencintai yang aku cintai?”

“Tentu saja. Aku pasti mencintainya,” jawab Fatimah.

Sambil menunjuk Aisyah, Rasulullah menegaskan, “Kalau begitu, cintailah dia”

Fatimah dan sang ayah tertawa bersama. Kini, Fatimah memahami betapa berartinya Aisyah bagi ayahnya. la juga tahu kelebihan yang dimiliki putri Al-Shiddiq itu yang tidak dimiliki istri-istri Rasul yang lain.

Ketika Fatimah pulang dan menemui istri-istri Nabi yang lain lalu menyampaikan hasil pertemuannya dengan sang ayah, mereka keberatan dan menyuruhnya lagi untuk menemui Nabi. Namun, kali ini Fatimah menolak.

3.9 Perpisahan dengan Ayah Tercinta
Beberapa waktu usai melaksanakan Haji Wada, Rasulullah SAW jatuh sakit. Ketika itu, beliau berada di rumah istrinya, Maimunah. Kendati penyakit Nabi kian parah, beliau tetap saja mengingat hak-hak para istri beliau untuk dikunjungi. Istri-istri beliau mempersilakan Rasulullah SAW memilih. Mereka semua menginginkan apa yang dirasa nyaman oleh Nabi. Akhimya, Baginda Rasul memilih rumah Aisyah dan dipapah oleh Al-Fadhl, putra Al-Abbas dan Ali bin Abi Thalib.

Suatu hari, seorang utusan Rasulullah SAW menemui Fatimah al- Zahra dan mengabarkan agar Fatimah segera menemui sang ayah. Fatimah pun segera menuju rumah Nabi agar dapat menenangkan beliau. Ketika Fatimah masuk, Rasulullah SAW merasa senang dan gembira seraya berkata, “Selamat datang putriku.” Sang ayah menyuruh putrinya tersebut duduk di sebelah kanan atau sebelah kiri beliau. Lalu beliau mengambil tangan Fatimah dan mendekapnya. Beliau lalu mendekati Fatimah dan berbisik, sehingga Fatimah pun menangis. Lalu beliau kembali berbisik dan kali ini Fatimah tertawa.

Kondisi Rasulullah SAW semakin kritis dan Fatimah sangat sedih atas sakit yang diderita oleh sang ayah yang sangat dicintainya itu. Fatimah senantiasa berada di dekat sang ayah dan melihat kesusahan luar biasa yang meliputi ayahnya, lalu ia berkata, “Alangkah susahnya, ayahandaku.” Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah, “Tiada kesusahan atas ayahmu setelah hari ini, wahai Fatimah.”

Ketika Rasulullah SAW hampir wafat, Fatimah menangis hingga Nabi mendengar suaranya. Lalu, beliau berkata, “Engkau jangan menangis, putriku. Ucapkanlah apabila ayah meninggal, ‘Inna lillahi wa inna illaihi raji’un (Sesungguhnya kita milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya), karena setiap orang yang kena musibah itu pasti akan mendapatkan gantinya.” Fatimah menyela, “Termasuk engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, aku juga.”

Tak lama kemudian, Rasulullah SAW pun wafat, menuju Zat Yang Maha Pengasih dan Mahatinggi. Menurut riwayat yang kuat, Baginda Rasul wafat pada Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 11 hijrah bertepatan dengan 7 Juni 632 masehi, dalam usia 63 tahun dan beberapa (empat) hari menurut penanggalan Qomariyah.

Tatkala sang ayah tercinta wafat, Fatimah langsung berucap, “Duhai ayahku, Tuhan menerima doanya. Duhai ayahku, surga Firdaus tempatnya. Duhai ayahku, kepada Jibril kami menyampaikan duka cita.” (HR. Bukhari).

Sayyidina Ali, suami Fatimah, sangat sedih dan pedih. Ia pun menangis seraya berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah. Maut telah mcnjemputmu. Sungguh telah terputus dengan kematianmu sesuatu yang tidak terputus dengan kematian para Nabi dan para Rasul selain engkau. Engkau adalah pribadi yang istimewa karena engkau menjadi penghibur bagi yang lain. Engkau pribadi yang agung sehingga setiap manusia di hadapanmu sama. Seandainya engkau tidak menyuruhku bersabar dan melarangku untuk mengeluh, niscaya kami akan kebanjiran air mata atas kepergianmu. Penyakit datang dan mata terpejam, tetapi kami tak memiliki upaya untuk menolak dan tak mampu menghindar.” Ali mcnghcla nafas sejenak lalu melanjutkan, “Demi ayah dan ibuku, sebutlah aku di sisi Tuhanmu dan jadikanlah aku pujaan di relung hatimu.”

Sayyidah Fatimah Az-Zahra  menangis usai mendengar ucapan sang suami. Begitu pula kaum muslimin semuanya menangisi Baginda Rasul yang telah pergi menghadap ilahi. Ketika jasad beliau dimakamkan, Fatimah berucap, “Wahai Anas, apakah diri kalian rela bahwa kalian menaburkan tanah atas jasad Rasulullah?” (HR. Bukhari).

Demikian, Rasulullah SAW wafat dan akhir pesan beliau kepada umatnya adalah: Perhatikanlah shalat, demikian juga orang-orang yang kamu kuasai (wanita dan hamba sahaya).

4.  Teladan

Fatimah al-Zahra memiliki keistimewaan dan kelebihan dibandingkan wanita lainnya, bahkan para istri Nabi sekalipun. Maqam beliau (tempatnya) istimewa di sisi Allah. Fatimah Az-Zahra, adalah bagian dari diri Rasulullah SAW yang telah dimuliakan atas seluruh makhluk. Sang ayah, Muhammad SAW, adalah pemimpin anak-anak Adam, dan Allah SWT telah memilih putrinya, Fatimah Az-Zahra, sebagai pemimpin wanita seluruh alam, sejak Hawa (istrinya Adam) hingga masa berakhirnya dunia.

Beliau  juga telah dipilih dari putri-putri Rasulullah SAW lainnya untuk menjadi penerus keluarga Nabi SAW. Ia melahirkan al-Hasan dan al-Husain, dua penghulu pemuda surga. Dari keduanya, memancar dan berkembang keturunan Rasulullah SAW yang suci lagi mulia dengan ilmu pengetahuan yang luas serta menerangi alam semesta sampai sekarang.

Oleh karena itu, beliau memberinya nama Fatimah dengan gelar Az-Zahra (yang bersinar wajahnya bak bunga), karena beliau adalah bunganya Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Fatimah juga bergelar Al-Batul, yakni wanita yang dikhususkan untuk beribadah kepada Allah karena banyaknya kesamaan antara diri beliau dengan Maryam binti Imran, maka Fatimah tidak pernah haid selamanya, ketika melahirkan pun mengeluarkan darah nifasnya hanya waktu itu saja.

Tindakan beliau dalam menjaga dan merawat Nabi Muhammad SAW, serta beliau adalah sebaik-baik wanita penduduk surga secara mutlak. Selain bergelar Az-Zahra dan Al-Batul, Fatimah juga digelari Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), karena di usianya yang masih belia sepeninggal sang Ibu, Sayyidah  Khadijah   beliau lah yang mengurus keperluan rumah tangga sang ayah.

Karena semua keistimewaan inilah, Ali ibn Abi Thalib (suami Fatimah) tidak diizinkan menikah dengan wanita lain, selama Fatimah masih hidup. Sang ayah sangat menyayanginya dan hatinya yang mulia dipenuhi rasa kasih kepada putrinya itu. Beliau akan terluka jika Fatimah terluka, dan akan murka jika Fatimah murka. Dan, Ali terlarang menikah lagi sebagai penghormatan kepada Rasulullah SAW sehingga tidak ada sesuatu pun yang menyakiti hatinya.

5.  Referensi

  1. Putri-putri Rasulullah, cet. ke-1, terj. Muhammad M, (Jakarta; Rihlah Press, Rabiul Akhir 1425 H/ Juni 2004 M).
  2. Abdul Aziz Al-Syanawi, Wanita-wanita Asuhan Rasulullah, cet. ke-1, (Bandung: Al-Bayan, Shafar 1417 H/ Juli 1996 M).
  3. Abdussalam Abu Ala’, Wanita-wanita di Sisi Para Nabi dan Rasul, cet. ke-1, terj. Kamran As’ad dan Edi Fr, lx., (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, Juni 2004 M).
  4. Ali Syariati, Fatima is Fatima, esidi Indonesia terj. oleh Yuliani Liputo, cet. ke-1 (Bandung: Penerbit Tahira, Rajab 1429 H/ Juli 2008 M).
  5. Fathi Fauzi Abdul Mu’thi, Wanita-wanita Al-Qur’an, cet. ke-2, terj. Asy’ari Khatib, (Jakarta: Zaman, 2010 M).
  6. Fathi Fauzi dan Widad Sakakini, Keluarga Perempuan Rasulullah, cet. ke-1, terj. Khalifurrahman Fath & Taufik Damas, (Jakarta; Zaman, 2010 M).
  7. Fuad Abdurahman, 4 Pemimpin Wanita Surga, cet. ke-i, (Solo: Tinta Medina, Juni 2018 M).
  8. Kitab Syamsuddhahiroh oleh Al Alamah As Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al Masyhur.

https://www.laduni.id/post/read/80001/biografi-sayyidah-fatimah-az-zahra-binti-muhammad-rasulullah-saw.html