BIografi Sahabat Sa’id bin Amir 

Daftar isi

1.         Riwayat Hidup
1.1         Latar Belakang
1.2         Riwayat Keluarga
1.3         Wafat

2.         Perjalanan Memeluk Islam

3.         Ikut Masa Perang
3.1         Bersama Nabi Muhammad

4.         Kisah-kisah
4.1         

5.         Meriwayatkan Hadis

6 .        Wasiat-wasiat Abu Darda

7.         Referensi

1.         Riwayat Hidup
 

1.1       Latar Belakang
Sa’id bin Amir  lahir sekitar 601 beliau adalah sahabat Rasulullah SAW dari kaum Muhajirin

1. 2     Riwayat Keluarga
Beliau menikahi seorang wanita

1.3       Wafat
Beliau wafat yaitu sekitar 20 H/641 M.

2.         Perjalanan Memeluk Islam

Said bin Amir memeluk Islam ketika terjadi peperangan di Khaibar. Dan sejak itu beliau memeluk Islam dan bai’at kepada Rasullullah SAW. Seluruh kehidupan beliau, segala wujud dan cita-citanya dibaktikan kepada keduanya. 

3         Ikut Masa Perang

3.1        Bersama Nabi Muhammad SAW
Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa’id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.

4        Kisah-kisah

4.1    Gajinya sebagai Gubernur Dibagikan untuk Rakyat Miskin
Said bin Amir memang tidak sepopuler sabahat Nabi lainnya. la memang tak hendak menonjolkan diri. Namun kisahnya terukir indah dalam sejarah para sahabat yang agung. 

Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khathab menarik Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, beliau menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Khalifah Umar sangat hati-hati dalam memilih pemimpin di daerah. Ia sadar bahwa dirinya ikut bertanggung jawab di hadapan Allah SWT tiap kesalahan penguasa yang diangkatnya itu.

Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya. Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam mengikuti peradaban yang silih berganti. Di samping iu Syria merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang.

Daerah ini adalah negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdaya setan mana pun, seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah. Tiba-tiba Umar berseru, katanya: “Saya telah menemukannya…! Bawa ke sini Sa’id bin ’Amir…!” Tak lama antaranya datanglah Sa’id mendapatkan Amirul Mu’minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Hems.

Tetapi Sa’id menyatakan keberatannya, katanya: “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu’minin …!” Dengan nada keras Umar menjawab: “Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan kamu! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku , lalu tuan-tuan meninggalkan daku …?” Dalam sekejap saat, Sa’id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu.

Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka mengalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara. Dan seandainya seorang seperti Sa’id bin’Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu? Demikianlah akhirnya Sa’id berangkat ke Homs. Ikut bersamanya isterinya; dan sebetulnya kedua mereka adalah pengantin baru.

Semenjak kecil isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik berseri-seri. Mereka dibekali Umar secukupnya. Ketika kedudukan mereka di Homs telah mantap, sang isteri bermaksud meggunakan haknya sebagai isteri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumaih tangga, lalu menyimpan sisanya.

Jawab Sa’id kepada isterinya: “Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih baik dari rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris barang jualannya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan memperkembangkannya.” “Bagaimana jika perdagangannya rugi?” tanya isterinya. “Saya akan sediakan borg atau jaminan ” ujar Sa’id. “Baiklah kalau begitu” kata isterinya pula. Kemudian Sa’id pergi keluar, lalu membeli sebagian keperluan hidup dari jenis yang amat bersahaja, dan sisanya yang tentu masih banyak itu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang membutuhkan.

Hari-hari pun berlalu, dan dari waktu ke waktu isteri Sa’id menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan bilakah keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedang keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat. Pada suatu hari isterinya mengajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum, lalu tertawa yang menyebabkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri.

Didesaknyalah suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka disampaikannya bahwa harta itu telah disedekahkannya dari semula. Wanita itu pun menangis dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit pun, karena tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang tak sedikit pun tinggal sisanya Sa’id memandangi isterinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya.

Dan sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya, Sa’id menujukan penglihatan batinnya ke surga, maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahuluinya, lalu katanya: “Saya mempunyai kawan-kawan yang telah lebih dulu menemui Allah dan saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya…!”

Dan karena beliau takut akan tergoda oleh kecantikan isterinya itu, maka katanya pula yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama isterinya: “Bukankah kamu tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis cantik yang bermata jeli, hingga seandainya seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan.” “Maka mengurbankan dirimu demi untuk mendapatkan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengurbankan mereka demi karena dirimu …! ” diakhirinya ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi, dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah.

Isterinya diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih utama baginya daripada mengikuti jalan yang telah ditempuh suaminya, dan mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud dan ketakwaannya. Kala itu Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal itu disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan pendurhakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kekuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor dalam soal pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan sebagai kota kedua.

Tetapi bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pemimpin-pemimpin mereka, terhadap hamba yang saleh sebagai Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan taat kepadanya. Pada suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Sa’id: “Orang-orang Syria mencintaimu .. .!” “Mungkin sebabnya karena saya suka menolong dan membantu mereka,” balas Sa’id. Hanya bagaimana juga cintanya warga kota Homs terhadap Sa’id, namun adanya keluhan dan pengaduan tak dapat dielakkan. Sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kufah di Irak.

Suatu ketika, tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada penduduk yang sedang berkumpul lengkap: “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id?” Sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi rupanya pengaduan itu mengandung berkah, karena dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta mengesankan. Dari kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu.

Maka atas nama kelompok tersebut majulah pembicara yang mengatakan: “Ada empat hal yang hendak kami kemukakan: Pertama, beliau baru keluar mendapatkan kami setelah siang hari. Kedua, tak hendak melayani seseorang di waktu malam hari. Ketiga, setiap bulan ada dua hari di mana ia tak hendak keluar mendapatkan kami hingga kami tak dapat menemuinya. Keempat, dan ada satu lagi yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu-waktu beliau jatuh pingsan.”

Umar bin Khattab tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada Allah, katanya: “Ya Allah, hamba tahu bahwa beliau adalah hamba-Mu terbaik, maka hamba harap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset.” Selanjutnya Khalifah Umar, mempersilakan Said membela diri. Said pun tampil dan berkata: “Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum siang hari, maka demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya.

Keluarga kami tak punya khadam atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudhu untuk shalat dhuha. Setelah itu barulah saya keluar untuk mendapatkan mereka.!” Wajah Umar berseri-seri, dan katanya: “Alhamdulillah , dan mengenai yang kedua?” Maka Sa’id pun melanjutkan pembicaraannya: “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tidak mau melayani mereka di waktu malam, maka demi Allah saya benci menyebutkan penyebabnya. Saya telah menyediakan siang hari bagi mereka, dan malam hari bagi Allah Ta’ala!”

Sedangkan ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka , maka sebabnya sebagaimana saya katakan tadi, saya tidak mempunyai khadam untuk mencuci pakaian, sedangkan pakaianku tidaklah banya untuk dipergantikan. Jadi terpaksalah saya mencucinya dan menunggunya sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang.”

Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, karena ketika di Mekkah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari. Dagingnya dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanyakan kepadanya: ‘Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat wal’afiat? Jawab Khubaib: Demi Allah saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi oleh kesenangan dan keselamatan dunia, sementara Rasullullah ditimpa bencana, walau hanya oleh tusukan duri sekalipun.”

Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu.” Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, beliau membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang saleh.

Mendengar itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: “Alhamdulillah, karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya!” Lalu dirangkul dan dipeluknya Sa’id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya. Gaji dan tunjangan Sa’id bin ‘Amir tentu saja lumayan besar. Tetapi yang diambilnya hanyalah sekadar keperluan diri dan isterinya, sedang selebihnya dibagi-bagikan kepada rumah-rumah dan keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya. 

7        Referensi

BIografi Sahabat Sa’id bin Amir

https://www.laduni.id/post/read/80855/biografi-sahabat-said-bin-amir.html