Biografi KH. Muhammad Salman Dahlawi

Daftar Isi Profil KH. Muhammad Salman Dahlawi

  1. Kelahiran
  2. Kisah Masa Kecil
  3. Wafat
  4. Keluarga
  5. Pengasuh Pesantren
  6. Karomah
  7. Teladan

 

Kelahiran

KH. Muhammad Salman Dahlawi atau yang kerap disapa dengan Mbah Salman lahir pada 1 Maret 1936. Beliau merupakan putra dari KH. Muhammad Muqri bin KH. Kafrawi dengan Hj. Masfuah binti Muhammad Manshur.

Nasab KH. Muhammad Salman Dahlawi  dari jalur ibu, beliau merupakan putra dari seorang pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah. Nasab beliau diantaranya, Muhammad Manshur putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen Demak, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Makkah.

Kisah Masa Kecil

Salman kecil memiliki kebiasaan mandi di Sungai Jebol, Tegalduwur, sebelah selatan Dusun Popongan. Di sungai tersebut Salman kecil dan Muslimin bukan hanya mandi dan bermain, tetapi juga mengambil kerikil dan mengangkatnya untuk dibawa ke komplek ndalem Mbah Manshur, yang sekarang menjadi Madrasah tempat pengajian para santri.

Kerikil-kerikil itu sampai sekarang menjadi saksi bisu kesahajaan Mbah Salman yang mau bekerja keras untuk memberikan kenyamanan bagi para santri dan tamu Mbah Manshur. Sebagai orang paling akrab dengan Salman kecil, Muslimin mendapat tugas untuk menemani Salman kecil, bahkan Mbah Manshur berpesan kepada Muslimin untuk jangan sekali-kali berpisah dengan Salman.

Mbah Manshur begitu sayang dengan Salman, dan menjadikan Salman sebagai orang paling dekat, lebih dekat daripada putera-puterinya. Setelah tamat Sekolah Rakyat di Tegalgondo, Salman kecil tinggal di Kauman Surakarta. Mbah Manshur membeli tanah di Kauman dan meminta Muslimin yang menjadi badalnya untuk merenovasi rumah.

Muslimin yang memiliki keahlian di bidang bangunan, menuruti perintah gurunya untuk membangun rumah. Ia sendiri yang menjadi tukang, dan Salman kecil meladeninya (menjadi laden tukang). Selama di Kauman, Salman kecil melanjutkan belajar ke Madrasah Sunniyah Surakarta yang juga menjadi bagian dari lembaga pendidikan Mambaoel Oeloem. Sejak kecil hingga meninggal, Mbah Salman selalu ditemani Mbah Muslimin.

Walaupun umur Mbah Muslimin sedikit lebih tua dari Mbah Salman, namun ketika Salman berumur belasan tahun, Mbah Manshur yang waktu itu sakit, berpesan kepada Muslimin untuk selanjutnya memanggil Salman dengan panggilan “Mas”. Hal ini mengisyaratkan akan diangkatnya Salman menjadi guru bagi Muslimin dan kawan-kawannya. Sebelumnya, kawan karib itu memanggil Salman dengan namanya.

Ada perhatian khusus Mbah Manshur terhadap Salman kecil. Ketika remaja, Mbah Manshur meminta Muslimin dan Salman untuk melakukan  suluk. Ritual Naqsyabandiyah Khalidiyah ini dilakukan ketika keduanya berumur belasan tahun. Ketika sedang  suluk, Mbah Manshur memerintahkan keduanya untuk melakukan renovasi Mbah Manshur, sambil melakukan ziarah ke makam para awliya’.

Ketika terjadi bumi hangus Popongan oleh agresor Belanda, seluruh keluarga Mbah Manshur mengungsi ke Kauman Surakarta. Adapun, ayahanda Kiai Salman, Mbah Mukri bersembunyi di atas atap masjid. Salman kecil bersama Muslimin sering melakukan jalan kaki dari Kauman ke Popongan, termasuk mengirim makanan ke Mbah Mukri.

Perjalanan dengan jalan kaki dari kauman ke Popongan tersebut hanya berbekal kacang tanah Muslimin lah yang mengatur perjalanan tersebut, serta kapan Salman boleh makan kacang. Kesahajaan Salman di masa kecil berlanjut huingga Kiai karismatik itu meninggal. Pada masa muda, ia juga menjadi laden (meladeni) tukang, yaitu Muslimin, ketika mendapat mandat untuk membangun Pondok Pesantren Sepuh bagi untuk perempuan. Sebelumnya Mbah Manshur sudah membangun Pondok Sepuh bagi laki-laki.

Wafat

KH. Muhammad Salman Dahlawi wafat pada Selasa 27 Agustus 2013 pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Beliau meninggal dunia setelah dirawat intensif di Rumah Sakit Islam Surakarta (RSIS) sejak awal Agustus lalu.

Salah seorang menantu Mbah Salman, Mohammad Dian Naf’i mengatakan Mbah Salman sebelumnya mengalami gangguan pencernaan pada 17 Agustus lalu, sehingga sempat dirawat di RS PKU Muhammadiyah Delanggu. Pada 18 Agustus, mendiang pengasuh Ponpes Popongan itu dipindahkan ke RSI Yarsis Solo untuk dirawat intensif.

Kematian Mbah Salman demikian ulama ini akrab disapa tak pelak membuat jemaah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujaddadiyah berduka.

Ratusan orang tampak berkumpul di kompleks Ponpes Al Manshur, Popongan, Tegalgondo, Klaten, selasa malam. Mereka menunggu kedatangan jenazah. Tampak di antara mereka puluhan aktivis Barisan Ansor Serba Guna (Banser) dan sejumlah aparat kepolisian yang berjaga di sejumlah titik di lokasi itu. Mereka langsung melantunkan ayat suci al-Qur’an secara bersama-sama kala jenazah sampai di rumah duka.

Keluarga

Pada tahun 1961, Mbah Salman melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Muainatun Sholihah. Buah dari pernikahannya, Mbah Salman dikaruniai tiga putra dan lima putri. Anak-anak beliau diantaranya Musta’anah, Umi Mu’tamiroh, Munifatul Barroh, Murtafi’ah Mubarokah, Mifathul Hasan, Muhammad Maftuhun Ni’am, Muhammad Multazam Al Makky dan Maliyya Silmi.

Pada tahun 2000, Nyai Muainatun meninggal dunia. Pada tahun 2001, Mbah Salman menikah lagi dengan Hj. Siti Aliyah, asal Purwadadi.

Sejak kepergian Nyai Muainatun, Mbah Salman memulai mempersiapkan kaderisasi manajemen pesantren dengan melibatkan putra-putrinya secara lebih aktif dalam pengelolaan pesantren.

Pengasuh Pesantren

KH. Muhammad Salman Dahlawi adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshuriyah, Popongan, pesantren tertua di Klaten.

Karomah

Ketika itu warga nahdliyin di Klaten, Jawa Tengah sedang menggelar istigasah di Masjid Roudlotush Sholihin. Malam itu ribuan kaum muslimin berkumpul di masjid terbesar di Klaten itu, yang terletak di tengah perkampungan industri cor logam Batur.

Ketika istigasah akan dimulai, tiba-tiba turun hujan lebat, sehingga para jemaah kalang kabut. Saat itulah tampil seorang kiai. Melalui pengeras suara ia mengajak seluruh jemaah membaca surah Al-Fil sebelas kali. Setiap kali sampai pada kata tarmihim, dibaca pula sebelas kali. Meski gelisah karena mulai kebasahan, dengan serempak para jemaah membaca surah Al-Fil bersama-sama.

Begitu pembacaan surah itu genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang. Para jemaah berdecak kagum dan terheran-heran. Sebagian berbisik, “Iki merga karamahe Kiai.” (Ini lantaran karamah Kiai).

Para jemaah yakin, meski semua kejadian tersebut tak lepas dari kehendak dan izin Allah, kemujaraban doa tidak hanya karena bacaannya, tapi juga yang lebih penting siapa yang membaca. Kiai yang memimpin bacaan Surah Al-Fil itu tiada lain Mbah Salman.

Teladan

Mbah Salman dikenal sebagai figure yang ramah, tawadlu’, sederhana, zuhud, dan tidak materialistik. Ia juga ahli ibadah dan kebajikan. Sikapnya yang ramah terhadap tetangga, tamu, dan para santri, semakin menambah karisma dan kewibawaannya. Dengan orang yang lebih tua, ia menghormati. Dengan yang lebih muda, ia mampu beradaptasi dan ngemong.

Tutur katanya halus, sopan, dan tidak emosional. Mbah Salman juga dikenal serbagai figure yang menghormati sejawatnya sesama kiai sepuh di Klaten, seperti KH. Siradj (Mbah Siradj) Kadirejo Karanganom, KH. Muslim Rifa’i Imampuro (Mbah Lim) Sumberejo Karanganom, dan KH. Masyhudi (Mbah Hudi) Karangnongko. Begitu juga dengan para kiai sepuh di luar Klaten.

Walaupun menjadi seorang mursyid, namun Mbah Salman masih konsisten mengaji kepada kiai lainnya, dengan cara mendengarkan dan menularkan petuah-petuah dari para Kiai, meskipun ia sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai mursyid. Penulis sendiri menyaksikan sikap Mbah Salman dalam menghormati dan mendengar wejangan dari kiai sepuh lain, seperti Mbah Sirodj dan Mbah Lim.

Figur yang amat sederhana, ramah, serta andhap asor (tawadlu’) adalah kesan yang akan didapati para santri, dan tamu yang datang ke ndalem kiai. Ketika tidak ada santri di ndalem, Mbah Salman sendiri yang menbawa baki air minum untuk disuguhkan kepada para tamunya. Terhadap para santri, Mbah Salman bisa ngemong, dan bersikap humoris. Selain itu, Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya.

https://www.laduni.id/post/read/67411/biografi-kh-muhammad-salman-dahlawi.html