Biografi KH. Chudlori

Daftar Isi Profil KH. Chudlori

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Mendirikan Pesantren

 

Kelahiran

KH. Chudlori lahir di Tegalrejo. Beliau merupakan putra kedua dari sepuluh bersaudara, dari pasangan K. Ikhsan dan Ibu Mujirah. Ayahnya adalah seorang pegawai (penghulu) yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo.

Pada zaman Belanda, seorang penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi, sedangkan Ibu Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah.

Wafat

KH. Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977. Jenazah beliau dimakamkan di komplek makam keluarga Pesantren API Magelang.

Keluarga

KH. Chudlori melepas masa lajangnya dengan menikahi putri KH. Dalhar Watucongol, ia sempat mengajar di pesantren mertuanya tersebut. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halamannya adalah cita-citanya yang menggebu-gebu sehingga ia selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah SWT untuk niatnya itu.

KH. Chudlori dikarunia sepuluh anak. Semua putranya adalah seorang Kiai dan meneruskan perjuangan dakwahnya dengan merawat dan mengembangkan Pondok pesantren API Tegalrejo, perjuangan dipartai politik, dan sebagai da’i.

Pendidikan

Pada tahun 1923, seteleh menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pesantren Payaman yang diasuh KH. Siroj. Ia menghabiskan 2 tahun di pesantren tersebut. Kemudian pindah ke pesantren Kuripan di bawah asuhan KH. Abdan.

Tapi kemudian pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga tahun 1928. Kehausan akan ilmu agama, ia kemudian nyantri ke Pondok Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Di pesantren pendiri NU tersebut, ia mempelajari beragam kitab.

Saat di Tebuireng, ayah Chudlori mengirim uang sebanyak Rp. 750,- per bulan, tetapi ia hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut.

Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Cerita lainnya tentang Chudlori, di kamarnya di Tebuireng, ia membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik.

Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Jadi dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Kemudian pada tahun 1933, ia pindah lagi Pondok Bendo, Pare, Kediri, menjadi santri Kiai Chozin Muhajir.

Di situ ia belajar fiqih dan tasawuf seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Empat tahun berikutnya, ia mengaji di Pesantren Sedayu, belajar ilmu membaca al-Qur’an selama 7 bulan. Pada tahun 1937, ia nyantri lagi ke Pondok Lasem, Jawa Tengah, yang diasuh KH. Ma’shum dan KH Baidlowi.

Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak belajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah untuk memastikan bahwa dimasa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.

Mendirikan Pesantren

Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori, seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo.

KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh.

Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.

Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami.

Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar).

Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.

Kurikulum kajian keagamaan yang diajarkan di Pesantren Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun. Ajaran dan amalan-amalan tasawuf dulu dan sampai sekarang merupakan bagian inti kurikulum. Bahkan Kiai Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan ihya’, meminjam judul kitab tasawuf terkenal, ihya’ ‘Ulum ad-Din.

Karena amalan-amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pesantren Tegalrejo, maka pesantren ini terkenal sebagai pesantren tasawuf.

Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar ratusan.

https://www.laduni.id/post/read/66604/biografi-kh-chudlori.html