Biografi KH. Anwar Alwi Paculgowang

Daftar Isi Profil KH. Anwar Alwi Paculgowang

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Belajar di Tanah Suci
  5. Menjadi Pengasuh
  6. Prinsip Dakwah
  7. Melawan Penjajah
  8. Karomah
  9. Teladan
  10. Chart Silsilah Sanad

 

Kelahiran

KH. Anwar Alwi lahir pada tanggal 23 Ramadhan 1291 H / 11 November 1874 di Paculgowang. Beliau merupakan putra kedua dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Alwi dan Nyai Hj. Sholihah. Saudara-saudara beliau diantaranya Nyai Waristah Alwi, Kiai Anwar Alwi, Kiai munshorif Alwi, dan Kiai Manshoer Alwi.

Wafat

Sebagaimana telah disebutkan di atas, beliau aktif mengikuti muktamar-muktamar. Begitu juga muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang  ke empat yang diselenggarakan di Semarang Jawa Tengah, pada tanggal 12-15 Robi’us Tsani  1348 H atau 17 – 20 Septembar 1929 M. bertempat di Hotel Arabistan kampung melayu Semarang.

Waktu itu beliau berangkat dengan KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai-Kiai lainnya dari daerah Jombang. Sepulangnya beliau dari muktamar IV di Semarang beliau jatuh sakit. Walaupun demikian beliau tetap aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana biasanya, dalam keadaan sakit beliau tetap konsisten mendidik para santrinya, bahkan beliau masih menyempatkan diri untuk mengisi pengajian-pengajian diluar desa dengan mengendarai sepeda pancal sendiri.

Beberapa bulan berikutnya, saat mengisi pengajian di masjid, beliau mengakhiri pengajian pukul 9 pagi dan berpamitan hendak keluar desa. Padahal jadwal pengajian baru akan usai pukul 2 siang. Di siang bolong dibawah terik matahari beliau pergi ke Nglaban Mojowarno kurang lebih 15 km dari Cukir, kepergian beliau dengan maksud melihat genteng yang akan di pasang pada masjid pondok pesantren sokopuro (pondok putra menantu beliau, KH. Kholil Abdul Hadi).  Setelah selesai melihat genteng tersebut beliau langsung pergi ke Sokupuro.

Setiba disana, beliau melihat kondisi  bangunan bagian atas dengan menggunakan tangga. Karena kondisi fisik serta usia beliau yang sudah udzur, ketika itu dengan tanpa sebab beliau jatuh dan pingsan yang membuat panik orang-orang di sekitarnya. Mereka yang kebanyakan para santri memeberitahukan hal tersebut kepada menantu beliau dan dengan cekatan menantu beliau memberikan pertolongan.

Belakangan baru diketahui bahwa hal serupa tidak hanya sekali ini terjadi. Sejak awal keberangkatan beliau dengan sepeda pancal, beliau sudah dalam keadaan kurang sehat, sehingga beliau sempat terjatuh di perjalanan karena menabrak sebuah Buk di tepi jalan, maka jelaslah keadaan beliau yang tidak mengizinkan. Namun karen tekad dan semangat juangnya dalam menegakkan agama islam, beliau tidak pernah mengenal lelah dan pantang menyerah memperdulikan apapun resikonya.

Sementara itu, berbagai macam pertolongan telah dilakukan oleh para santri dan masyarakat desa Sukopuro tidak menghasilkan buah seperti apa yang mereka harapkan. Pada saat itu juga, tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Ula Ahad Wage 1348 H/ 12 Oktober 1929 M beliau pergi meninggalkan sanak saudaranya yang tercinta, santri-santrinya serta masyarakat sekelililngnya berpulang ke Rahmatullah wa Ta’aala. Inalialhi wa inna ilaihi Roji’un.

Segenap kaum muslimin dan muslimat terutama para ulama, benar-benar amat terpukul serta berduka yang amat dalam. Betapa tidak disaat bangsa Indonesia di koyak-koyak oleh penjajah, seorang tokoh dan guru yang penuh semangat yang ikhlas tanpa pamrih membina masyarakat telah pergi mendahului mereka semua. Maka tidak mustahil jika kepergian beliau diiringi dengan kepedihan dan linangan air mata yang tiada hentinya dari orang-orang yang menaruh rasa simpati kepada beliau.

Tak terkira,masyarakat berbondang-bondong membawa pulang jenazah beliau dari desa Sukopuro  ke rumah beliau di Paculgowang. Maka masyarakatpun membanjri rumah beliau untuk berta’ziah dan menunaikan sholat jenazah. Ketika itu yang pertama kali yang jadi imam adalah KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi sahabat kental beliau ketika beliau masih hidup. Sedangkan yang bertindak sebagai imam kedua, ketiga dan seterusnya adalah para Kiai lainnya yang hadir pada waktu itu. Sedangkan masa yang tidak terhitung jumlahnnya dengan khusunya melakukan sholat jenazah.

Setelah segala sesuatu telah siap, meskipun isak tangis serta beratnya duka yang menyelimuti mereka, lebih-lebih sanak keluarga serta handai taulanya, jenazah beliau di berangkatkan dengan khidmat dan ta’zim menuju tampat peristirahatannya yang harum semebrak, damai dan bahagia.

Pendidikan

Sejak kecil KH. Anwar Alwi telah mengikuti jejak ayahandanya dalam mendalami ilmu agama. Ayahnya, KH. Alwi yang telah mendirikan sebuah Pondok Pesantren membimbing langsung Anwar kecil.

Dengan sikap dan kepribadian KH. Alwi yang luhur  serta telaten dalam mendidik para santri dan putra-putrinya, membuat Anwar kecil semakin tekun dalam belajar. Sangking semangatnya, muncullah keinginan  dari Anwar kecil untuk menggali ilmu-ilmu agama lebih dalam lagi, sehingga mendorong Anwar untuk pergi belajar di Pondok Pesantren lain. Akan tetapi, karena dirasa belum cukup usia, maka keinginanya itu tidak mendapat restu dari kedua orang  tuanya.

Selang beberapa tahun dan dirasa Anwar sudah cukup dewasa, akhirnya kedua orang tuanya memberikan restu kapadanya untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren lain. Pengembaraannya mencari ilmu ini tidak sebatas pada Pondok Pesantren di pulau jawa saja, akan tetapi ada juga yang sampai di luar Jawa, tepatnya di pulau garam, Madura. Berikut daftar Pondok Pesantren yang pernah beliau singgahi untuk mendalami ilmu agama:

  1. Pondok Pesantren Wonokoyo Jogoroto Jombang
  2. Pondok Pesantren Trenggilis Wonokromo Surabaya
  3. Pondok Pesantren Panji Sidoarjo
  4. Pondok Pesantren Bangkalan Madura
  5. Berguru di Makkah
  6. Berguru di Bangkalan

Pada saat mondok di Pesantren Bangkalan yang berada di bawah asuhan Syekh Kholil memang sangat masyhur di kalangan pesantren – pesantren yang ada di Indonesia pada waktu itu. Bukan hanya di Indonesia, kemasyhuran Pondok Pesantren Bangkalan ini bahkan sampai kedaratan Timur Tengah.

Kemasyhuran ini tidak lain karena pengasuh Pondok Pesantren Bangkalan adalah orang yang memang ‘Alim ‘Allamah dan terkenal kewaliannya. Bahkan rata-rata Ulama –Ulama besar Indonesia yang kini mewariskan Pondok-Pondok Pesantren ternama, terlahir dari didikan beliau. Kharisma dan kealiman yang dimiliki oleh Hadratus Syekh KH. Kholil ini juga sampai pada KH. Anwar, sehingga beliau memutuskan untuk menimba ilmu di sana.

Awal kedatangan KH. Anwar di Bangkalan menyisakan kisah yang unik. Konon, ketika baru saja KH. Anwar melangkahkan kaki untuk memasuki Pondok Pesantren Bangkalan, beliau tidak disambut dengan hangat oleh Sang Kiai sebagaimana layaknya seorang santri baru. Justru sebaliknya, KH. Anwar muda malah dikejar-kejar dan dilempari batu layaknya seorang pencuri oleh KH. Kholil.

Selang beberapa hari setelah beliau berada di Bangkalan, cerita menjadi lain. Beliau di kejar-kejar dan dilempari batu itu, justru menjadi pertanda dari santri yang sukses dan dekat dengan Kiainya. Bahkan beliau sering diberi tugas untuk melakukan pekerjaan oleh beliau sang Kiai diantaranya mencuci pakaian sang Kiai.

Setelah kurang lebih empat tahun lamanya beliau mengalami suka dan duka menimba ilmu dengan gemblengan KH. Kholil datanglah sepucuk surat dari ayahanda-nya KH. Alwi yang isinya memberi kabar bahwa ayah dan ibunya akan pergi ke tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.

Sepucuk surat dari ayahnya itu menimbulkan keinginan beliau untuk ikut pergi haji bersama orang tuanya. Hal ini juga menggugah tekadnya untuk lebih menyempurnakan ilmu agamanya di Tanah Suci. Kesempatan ini tidak beliau sia-siakan, beliau meminta izin KH. Kholil. Dengan berat hati beliau meninggalkan Bangkalan dan berpisah dengan gurunya, KH. Kholil sangat cinta kepada beliau.

Sewaktu KH. Anwar menimba ilmu di Bangkalan, salah satu teman akrabnya adalah KH. Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng yang merupakan tokoh perintis berdirinya Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama (NU).

Pertemanan selama nyantri di Bngkalan ini juga berlanjut menjadi ikatan kekeluargaan, sebab putera KH. Anwar menikah dengan cucu KH. Hasyim Asy’ari. Besan beliau yang lainnya adalah KH. Abdul Karim pendiri pondok pesantren Lirboyo dan KH. Ma’ruf Kedungloh Kediri.

Belajar di Tanah Suci

Kira-kira pada tahun 1990 M, KH. Anwar Alwi beserta kedua orang tuanya berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, maka sebagaimana tekatnya setelah selesai melakukan ibadah haji, beliau mohon do’a restu kepada orang tuanya untuk bermukim di Tanah Suci, sementara ayah bundanya kembali ke Tanah Air Indonesia.

Diluar dugaan beliau, ternyata beberapa hari mukim di Makkah, beliau bertemu kembali dengan KH. Hasyim Asy’ari salah satu sahabat karib beliau ketika sama-sama menjadi santri di Bangkalan. Ulama-ulama yang menjadi guru beliau antara lain :

1. Syekh Nawawi Al Bantani ( berasal dari Banten Jawa Barat ),  seorang ulama besar yang mengarang banyak kitab, diantaranya kitab Tafsir Munir.

2. Syekh Mahfudz At Tirmisi ( Termas, Pacitan Jawa Timur ) seorang ulama besar yang alim ilmu hadist. Beliau mengarang kitab antara lain: Dzawinnadzor dan arroms yaitu kitab mustholah hadist.

3. Syekh Khotib Al Minangkabauwi ( Minangkabau, Sumatera Barat ).

Tetapi sekian banyak kitab yang beliau kaji dan dipelajari serta di perdalam di Tanah Suci Makkah yang paling beliau utamakan adalah kitab-kitab yang di ijazahkan oleh Syekh Mahfudz At Tirmisi.

Hari demi hari bulanpun berganti tahun beliau dengan tekun dan tabah mengarungi lautan ilmu di Tanah Suci. Sekitar empat tahun kemudian ayahandanya KH. Alwi berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya sekaligus menengok putranya.

Kedatangan ayahandanya disambut dengan baik dan hangat, karena dalam usia ayahandanya yang sudah tua serta keadaan fisik yang sudah uzur masih mampu melaksanakan haji. Maka tanpa dipinta KH. Anwar minta izin pulang bersama ayahnya. Karena beliau sudah merada cukup menimba llmu di Tanah Suci, maka KH. Alwi pun tidak menolak keinginan putranya. Selang beberapa waktu setelah KH. Anwar berada di rumah, ayahanda tercinta meninggalkan beliau beserta keluarganya menghadap ke Hadirat Illahi Robi. Inna lilahi wa inna ilaihi raji’uun.

Menjadi Pengasuh

Setelah ayahandanya wafat, KH. Anwar Alwi menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pengasuh di Pondok Pesantren Paculgowang.

Adapun kitab-kitab yang beliau baca untuk santri kala itu ada adalah:

  1. As Syarqowi (Fiqih)
  2. Jam’ul Jawami’ (Hadist)
  3. Fathul Mui’n (Fiqih)
  4. Ihya Ulumiddin (Filsafat Agama)
  5. Tafsir Jalalain dan lain-lain

Dari sekian kitab-kitab yang beliau selenggarakan dengan sistem sorogan dan sistem wetonan. pembagian jadwal pada waktu itu adalah sebagai berikut:

Sistim Sorogan mulai pukul 05.00 s/d 07.00

Sistim Wetonan mulai pukul 07.00 s/d 14.00

Sistim Wiridan mulai pukul 16.30 s/d 17.30

Selebihnya beliau memanfaatkan waktunya untuk mengisi pengajian di masyarakat yang biasanya diselenggarakan di musholla dan masjid di sekitar Paculgowang

Prinsip Dakwah

Mengenai cara dan prinsip dakwahnya, KH. Anwar Alwi lebih cenderung memaki door to door system atau sistem dari rumah ke rumah. Beliau selalu bertindak bijaksana mengajak orang-orang yang belum mau melaksanakan Syari’at islam. Artinya beliau kurang setuju bila dakwah  di tengah-tengah masyarkat hanya dengan ceramah dan pengajian umum saja.

Prinsip dakwah yang beliau pakai rupanya ada sedikit perbedaan dengan cara dakwah KH. Hasyim Asy’ari yang cenderung dakwah lewat pentas. Hingga pada suatu hari KH. Anwar menolak diadakannya lomba pidato di tebu Ireng yang waktu itu ketua pondoknya adalah KH. Wahab Hasbulloh yang kemudian menjadi pengasuh pondok Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang.

Perbadaan pandangan antara beliau dengan KH. Hasyim Asy’ari tidak terbatas hanya pada soal dakwah, tetapi juga mengenai boleh tidaknya membudayakan Hari Raya Idul Fitri, dengan istilah Hari Raya ketupatan.

Menurut KH. Hasyim Asy’ari  hal itu boleh sebab itu hanya beda istilah saja. Pandangan lain yang sempat jadi pomelik antara dua tokok tersebut adalah boleh tidaknya memasang kentongan di masjid, Yang mana menurut KH. Hasyim Asy’ari pemasangan itu tidak boleh, karena kentongan itu menyerupai lonceng gereja.

Oleh karena itu orang islam tidak boleh memasang dan memukul kentongan di masjid. Sedangkan menurut beliau memasang kentongan itu boleh, dengan alasan Naqus/kentongan dalam tradisi islam itu tidak sama dengan lonceng yang di pasang di gereja-gereja orang Kristen.

Kendati antara beliau dan KH. Hasyim Asy’ari terjadi perbedaan pendapat, namun keakraban beliau tetap dalam keterjalinannya. Beliau berdua bagai sejoli yang sulit untuk dipisahkan, terutam dalam mengadakan acara-acara yang erat kaitannya denga perjuangan, baik formal maupun non formal. Kebersamaan langkah beliau berdua terlihat nyata oleh seringnya KH. Anwar dan KH. Hasyim Asy’ari pergi ke Surabaya dalam menghadiri rapat-rapat pembentukan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

KH. Anwar pun aktif dalam menghadiri muktamar-muktamar NU, mulai muktamar pertama, kedua, ketiga dan ke empat. Namun sejauh keterlibatan beliau dalam memperjaungkan dan men Syi’arkan agama, beliau tetap seorang Kiai yang tidak mau meninggalkan masyarakat dilingkungannya yang pada waktu itu masih sangat awam akan pengetahuan agama.

Melawan Penjajah

Pada zaman kolonial, meskipun beliau tidak tercantum namanya sebagai tokoh muapun anggota organisasi masyarakat (ormas), beliau tetap seorang ulama yang  cukup dan banyak berkiprak ditengah medan perjuangan, sebagaimana telah tercatat diatas, beliau selalu turun kelapangan melihat dan memberikan tuntunan kepada masyarakat agar melaksanakan perkara yang haq dan meninggalkan perkara yang batil.

Tuntunan demikian tidak terbatas hanya sekitar hukum yang harus dilaksanakan oleh orang islam saja, tetapi juga tentang hukum-hukum dan kewajiban dari sebagian orang islam demi keselamatan sesamanya. Termasuk bagaimana hukumnya jihad untuk mengusir penjajah yang hendak merusak Islam dan merongrong negara.

Sikap antipati terhadap pemerintahan kolonial trelihat jelas setiap beliau mengadakan pengajian-pengajian baik Ngaji kuping maupum pengajian yang diselenggarakan dengan jadwal harian dan mingguan. Masyarakat sekitar Jombang sudah tahu persis bahwa beliau adalah seorang Kiai yang dengan tegas menentang kerja sama dengan segala bentuk penjajahan (non cooperatif).

Syahdan, banyak dari organisasi masyarakat yang melakukan aksi pemogokan, sehingga tidak luput beliau bersama KH. Hasyim Asy’ari juga Kiai-Kiai lainnya dituduh oleh pemerintah kolonial ikut terlibat melakukannya. Padahal aksi-aksi pemogokan pada waktu itu yang paling banyak melakukan adalah partai komunis Indonesia dan sebagian kecil dilakukan oleh Sarikat Islam dibawah pimpinan HOS Cokroaminoto, yang memang kebanyakan anggotanya dari para Kiai. Namun karena itu hanya fitnah belaka, maka beliaupun akhirnya dibebaskan oleh pihak kolonial.

Pada zaman itu beliau sering menjadi imam sholat di masjid Agung Jombang dan daerah sekitarnya. Dalam menuanaikan tugas rutinnya, beliau sering menggunakan sepeda pancal atau dokar sebagai sarana transportasi yang murah dan efektif.

Anehnya jika beliau sedang pergi mengendarai kendaraan berkuda ini, tidak ada kendaraan yang berani mendahuluinya. Konon, pernah dokar yang beliau kendarai berpacu dengan kereta api jurusan Jombang – pare, sehingga dokar beliau terserempet, tapi apa yang terjadi kemudian ? ternyata bukan dokar beliau yang rusak dan terbalik, namun justru tangga tempat naik kereta api itu yang rusak berat, sampai patah berantakan. Sementara beliau berikut dokarnya selamat tidak mengalami luka-luka serta kerusakan sedikitpun.

Karomah

Pada zaman kolonial, masyarakat banyak yang mengadukan keluh kesahnya pada KH. Anwar Alwi, gara-gara pemerintah kolonial Belanda membuat sumur bor pompa yang cukup besar sehingga banyak merugikan sumber air masyarakat desa Paculgowang, karena daya serapnya sangat besar.

Maka beliau beserta warga setempat segera bertindak melaksanakan istighotsah dengan memanjatkan do’a dengan harapan semoga sumur bor itu macet. Dan do’a mereka pun terkabul adanya. Beberapa hari setelah itu sumur bot tersebut macet total, Sama sekali tidak berfungsi. Demikianlah keampuhan beliau bila sudah memohon kepada sang penolong, Allah SWT.

Teladan

Dalam mendidik dan melatih serta membimbing para santri KH. Anwar Alwi terkenal sangat telaten. Kelemah lembutan beliau dalam mendidik santri inilah yang kemudian membentuk kepribadian seorang Kiai disegani oleh para santri dan masyarakat di sekitarnya. Karakteristik beliau yang penuh perhatian itu, bukan hanya dicurahkan kepada para santrinya dan masyarakat disekitarnya saja, tapi kepada putera-puterinya juga. Lebih-lebih dalam ikatan pendidikan, hampir seluruh putra-putrinya mendapat pendidikan langsung dari beliau. Pantas jika kelak dari salah seorang putranya yang bernama  KH. Manshoer Anwar dapat mewarisi sikap kepribadian beliau.

Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Anwar Alwi Paculgowang dapat dilihat DI SINI.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 25 Januari 2021, dan terakhir diedit tanggal 05 September 2022.

https://www.laduni.id/post/read/70726/biografi-kh-anwar-alwi-paculgowang.html