Biografi Asa Bafaqih (Wan Asa)

Daftar Isi Profil Asa Bafaqih (Wan Asa)

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Mendirikan Media Duta Masyarakat NU
  4. Karier di Politik

 

Kelahiran

Asa Bafaqih atau yang kerap disapa dengan panggilan Wan Asa lahir pada tahun 1915, di Tanah Abang, Jakarta.

Wafat

Asa Bafaqih wafat pada tanggal 13 Desember 1978, di Solo, Jawa Tengah. Jasadnya dikebumikan di Pemakaman Karet, Jakarta.

Mendirikan Media Duta Masyarakat NU

Keberadaan Duta Masyarakat sebagai media Nahdlatul Ulama (NU) tak terlepas dari jasa Asa Bafaqih. Beliau merupakan salah satu penggagas sekaligus pimpinan redaksi Duta Masyarakat saat pertama kali diterbitkan.

Saat itu tepatnya tahun 1954 dengan rekomendasi langsung dari Rais ‘Aam PBNU KH. Wahab Chasbullah dibentuklah surat kabar sebagai wahana kader Nahdliyin untuk belajar jurnalistik yakni Duta Masyarakat yang dipimpin Wan Asa. Meski dirinya tak lama memegang tanggung jawab dalam keredaksian Duta Masyarakat, namun Wan Asa telah cukup memberikan pondasi penting sebagai bahan untuk dikembangkan generasi muda NU dalam mengumpulkan, mengolah dan menyajikan berita kepada khalayak melalui media massa.

Pengalaman Wan Asa di dunia jurnalistik diawalinya sebagai penerjemah berita-berita atau artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu di Kabar Harian Pemandangan. Sebelumnya dia berprofesi sebagai guru agama di sekolah.

Selain sebagai penerjemah pria kelahiran 1915 di Tanah Abang, Jakarta itu juga penulis lepas di dua media yang berpengaruh saat itu yakni harian Pemandangan dan majalah mingguan Pandji. Bahkan Wan Asa pernah menjadi pimpinan harian Pemandangan. Namun, karena dinilai seringkali menghambat pemerintahan Hindia Belanda, Pemandangan dilarang terbit lagi.

Mengetahui kenyataan itu, Wan Asa tetap berusaha berkecimpung dalam dunia tinta dengan masuk Kantor Berita Jepang, Domei, sebagai Redaktur. Keberadaannya di Domei dimanfaatkan pula oleh Wan Asa untuk kepentingan tanah air tercinta, Indonesia salah satunya ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan.

Ketika itu Wan Asa diberi amanah oleh Adam Malik untuk menyelipkan berita kemerdekaan Indonesia dalam Domei. Usaha itu pun berhasil dan akhirnya berita kemerdekaan Indonesia diperdengarkan melalui Kantor Berita Jepang. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia seutuhnya, Domei beralih nama menjadi Antara dengan Pimpinan Redaksi Asa Bafaqih dibantu Mochtar Lubis.

Usai kemerdekaan pula, harian surat kabar Pemandangan kembali beroperasi. Melalui harian Pemandangan, Asa seringkali membuat geram pemerintah dengan tajuk-tajuk berita yang ditulisnya salah satunya tentang rencana gaji baru PNS serta tentang modal asing yang diterima 21 perusahaan industri. Dua tajuk tersebut dinilai telah membocorkan rahasia negara serta hal sensitif untuk dibuka di ruang publik.

Akibatnya, Asa Bafaqih dituntut dengan dakwaan membocorkan rahasia negara sebab kedua tajuk yang ditulisnya belum diumumkan secara resmi kepada masyarakat. Saat persidangan Asa diminta memberitahukan siapa narasumber yang menginformasikan terkait hal itu.

Jelas saja, sebagai Jurnalis yang bertanggung jawab dan mengerti kode etik Jurnalistik, Asa menolak permintaan yang diajukan kepadanya di persidangan. Asa menggunakan Hak Tolak sebagai wartawan. Akhirnya, Jaksa Agung kala itu R. Soeprapto memutuskan menghentikan penyelidikan dan mengakhiri dakwaan atas Asa Bafaqih tepat pada tanggal 15 Agustus 1953.

Karier di Politik

Dalam karier politik Wan Asa pernah menjabat sebagai anggota DPR GR mewakili wartawan dan anggota dewan mewakili Partai NU. Ketika Partai NU menjadi faktor politik yang diperhitungkan di mana Asa Bafaqih salah seorang tokoh “di belakang layar”, wartawan didikan madrasah ini diangkat Presiden Soekarno menjadi duta besar di Srilangka.

Dia dinilai sebagai seorang diplomat yang berhasil. Hubungannya sangat dekat dengan Perdana Menteri Nyonya Bandaranaike. Laporan-laporannya oleh Jakarta dinilai sangat berbobot. Asa Bafaqih di samping menguasai bahasa Arab dan Inggris, ia juga menguasai bahasa Tamil, bahasa pribumi Srilangka. Asa Bafaqih termasuk seorang di antara pelumas politik Konferensi Bandung dan Non-Blok yang dinilai positif dan sukses.

Selepas mengabdi sebagai Duta Besar RI untuk Srilanka (1960-1964), Asa Bafaqih lantas dipercaya menjadi duta besar di Aljazair merangkap Tunisia (1964-1965). Selama di Aljazair, ia memiliki hubungan dekat dengan Presiden Boumedienne maupun Menlu Botafika dan tokoh-tokoh nasional Aljazair. Namun, di luar jabatan formal sebagai wakil Negara Republik Indonesia, Asa Bafaqih memiliki nama baik di kalangan masyarakat Islam Aljazair berkat penguasaannya terhadap bahasa Arab dan Perancis.

https://www.laduni.id/post/read/71140/biografi-asa-bafaqih-wan-asa.html