ANTROPOCOSMIS RAMADHAN

Oleh  Chafid Wahyudi* Di tengah dominansi cara pandang manusia yang serba materialistik. Hadir dipinggiran yang ingin menerobo…

Chafid Wahyudi*

Di tengah
dominansi cara pandang manusia yang serba materialistik. Hadir dipinggiran yang
ingin menerobos dominasi materialistik
melalui
jargon era back to spiritual, ‘masa kembali melahirkan spiritual’. Salah
satu cara pandang yang berkelindan bersamaan dengan era back to spiritual
adalah antropocosmis.
Melalui cara
pandang ini di
hadirkan perenungan atas ritual puasa
Ramadhan yang memiliki nilai-nilai substansial sekaligus berkesesuaian dengan
konseptual antropocosmis
, 
Sebagai
refleksi, sengaja di hadirkan celoteh Friedrich Nietzshe tentang “kematian
Tuhan.” Celoteh itu boleh jadi bagi kebanyakan orang terasa mengkhawatirkan
atas keyakinan tentang Tuhan. Bagaimana tidak, Tuhan yang dalam diskursus
filsafat Islam adalah wajib al-wujud atas ke-maujud-an jagat
semesta, tiba-tiba secara lantang disebut “Tuhan sudah mati”.
Sosok personal
eksistensialis ini, jika dicermati, tidak sedang melabarak ide Tuhan sebagai
penghambat kreatifitas kebebasan manusia an sich, melainkan
mengencam Tuhan dalam proyeksi materialistis. Proyeksi inilah yang dibunuh oleh
Nietzshe. “Tuhan sudah mati”, dan itu adalah Tuhan orang Keristen waktu itu.
Ini, tentu berlaku juga agama-agama lain. Andai masih dipandang ada, maka Tuhan
sebatas dalam bayang-bayang yang diproyeksikan oleh manusia.
Semakin ke sini,
alih-alih Tuhan lepas dari jeratan poyeksi manusia, justru sebaliknya
secara gamblang Martin Heidegger menyebut
suatu masa dimana manusia menjadi subjectum;
pusat dan ukuran yang berada (seinde). Penanda ini mengantarkan pada
puncak dari semuanya adalah “berubahnya” manusia menjadi ‘homo homoni deus
(menjadi Tuhan).
Menengok jauh
kebelakang, tepatnya pada abad ke 7 Hijirihya, personal sufi dari Murcia
Andalusia, syech al-Akbar Ibn Arabi telah menengai diskursus ketuhanan. Apa
yang menjadi problem pada diskursus Tuhan di Barat persis seperti didedahkan
oleh Ibn Arabi sebagai tajalli (menifestasi diri). Dedahan ini beranjak
dari kesendirian Tuhan yang ingin melihat diriNya dari luar diriNya melalui
ciptaan-Nya. Dedahan Tuhan yang demikian, disebut Ibn Arabi ke dalam katagori
pengertian tasybih, yakni cermin melalui penyerupaan makhluk-Nya.
Tidak berhenti
di situ, Ibn Arabi mendedahkan katagori lain tentang Tuhan ke dalam pengertian tanzih,
yakni Tuhan yang misteri, tak terdefinisikan, dan berada dalam kesunyian mutlak
atas percakapan proyeksi manusia. Katagori yang terakhir ini meminjam statamen
ST. Thomas Aquinas disebutnya dengan Quasi ignatus cognoscitur, yakni
Tuhan dikenal sebagai Tuhan yang tak dikenal.


Jika dari tasbih-nya
Ibn Arabi, sekadar ingin mendudukan bagaimana Tuhan dapat diketahui melalui
pemahaman cermin manusia, maka yang terjadi kemudian bergeser
menempatkan manusia menggati posisi Tuhan sekaligus sebagai pusat kehidupan,
sebagaimana telah disinggung Haidegger di atas. Karena itulah jauh-jauh
sebelumnya Ibn Arabi telah mengantisipasinya dengan memberi penjelasan Tuhan ke
dalam pengertian yang lain, yakni tanzih.
Penjelasan
diskursus ketuhanan tersebut memberi pesan yang membantu kita untuk mendudukan
kembali atas pemahaman relasional manusia, alam dan Tuhan, sekaligus mengkaji
ulang keberadaan manusia yang dirinya telah –merasa– menjadi raja atas
segalanya. Karena manjadi raja, maka cara pandangnya kerap menghadirkan liyan
sebagai objek manusia. Imbasnya, rintihan alam adalah surgawinya, Tuhan adalah
tempurung otak manusia. Posisi yang mengatarkan pada jargon antroposentrisme.
Sebagai gagasan
alternatif atas antroposentris adalah antropocosmis.
Dalam wejangan teoritisnya,
antropocosmik menjelaskan keberadaan aku-alam-Tuhan adalah satu kesatuan
relasional. Teoritisasi seperti ini tersebar dalam world view para sufi
maupun para filaisuf.  Misal, teoritis
dari Mulla
Sadra yang menyatakan, muara kehidupan
manusia adalah kembali menyatu dengan Tuhan melalui re-emanasi hirarkis.
Dalam pandangan hirarkis, Tuhan pada diri-Nya diidentifikasi sebagai Sumber Asal
(asalah al-wujud)
dari
segala realitas yang berada di bawah-Nya
(tasykik al-wujud).
Kesatuan dalam
hirarkis sebagai tatapan antropocosmik di atas, telah tersirat pada kehendak
Tuhan menyatu dengan manusia yang terdapat pada puasa di bulan Ramadhan. Di
sebutkan dalam salah satu lalaran hadits, “Kullu amali ibnu Adam lahu illa
syaum, fa innahu li wa ana ajzi bihi
” (setiap amal adalah kembali pada manusia,
kecuali puasa untuk-Ku dan Aku yang membalasnya). Hal yang perlu dipertanyakan
adalah mengapa Tuhan sedemikian rupa hanya menjadikan lelaku puasa untuk-Nya,
begitu juga apa bentuk pembalasan (baca: pahala)-Nya?
Untuk
menjawabnya, kita dapat membangun argumentasi, pertama, puasa bukan
sekedar seremonial ragawi, yakni untuk menahan lapar dan haus. Sebaliknya,
puasa merupakan lelaku mautul ihtiyari (mematikan kehendak) atas jiwa,
tujuannya adalah mensucikan alam binantang menuju alam manusia, dan berakhir
pada alam Ketuhanan. Suatu keadaan gerak yang berakhir pada puncak penyatuan
dengan Tuhan. Dengan demikian, jika melalui proyeksi materialistis keberadaan
Tuhan diketahui, maka puasa di bulan Ramadhan adalah kunci mengetuk kehadirat
Tuhan bersama misteri-Nya ke dalam penyatuan dengan-Nya. Karena itulah puasa
hanya untuk-Nya.
Kedua,
apa bentuk pembalasan-Nya? Dalam banyak riwayat, pembalasan kerapkali
berhubungan dengan matematis, yakni pembalasan yang diukur dengan angka,
seperti pembalasan sepuluh kali, dua puluh tujuh kali, tujuh ratus kali, seribu
kali lipat dan seterusnya. Pembalasan yang bersifat matematis itu nampak nihil
atas pembalasan puasa di Ramadhan. Dengan kata lain, pembalasan atas puasa di
bulan Ramadhan tidak terukur. Jika tidak terukur, maka itu adalah makna yang
sangat istimewa. Pertanyaannya adalah apa yang sangat istimewa itu? Jawabannya
ada pada ahli hikmah (para sufi), mereka niscaya bersepakat menjawab pembalasan
Tuhan yang paling istimewa adalah penyatuan dengan-Nya.
Selain lalaran
hadits di atas, tentu dengan tidak terbesit sekedar fenomena kebetulan adalah
kehadiran pandemi covid-19 yang turut menyelimuti bulan Ramadhan tahun ini.
Kehadiran civid-19 seperti menolak ekspresi religius Ramadhan yang kerap
dipertontonkan di ruang-ruang publik. Pademi ini serasa menunjukkan kepada
hamba-Nya bahwa ekspresi religius semacam itu menghalangi untuk bertemu
dengan-Nya. Karananya, pademi ini menjadi kode Tuhan melalui alam, agar manusia
bersekutu bersama kesunyian. Berada di keheningan dalam kesunyian tanpa kata,
tanpa ekspresi publik, hanya bahasa kalbu Tuhan ingin disapa agar tabir misteri
diri-Nya tersingkap.
 
Lalaran
hadits maupun fenomena Covid-19 di atas merupakan sebentuk pengingat bahwa
Tuhan sangat ingin merajuk melalui cinta-kasih pada hamba-Nya. Cinta-kasih yang
sesungguhnya telah sediakala dihadirkan bersamaan dengan manusia diciptakan
oleh-Nya. Dan, ketika manusia pun merajuk pula atas pengingat itu setelah ia abai,
persis laksana pecinta yang kembali bersatu
dengan kekasihnya setelah sekian lama terpisah, maka persatuan kembali itu
menghasilkan intensitas penuh makna. Itulah cara Tuhan mengingatkan hamba-Nya
untuk menyatu kembali bersama-Nya.
WaAllahu a’lam bishowab.
*Pegiat Komunitas Baca Rakyat (Kobar)

https://www.halaqoh.net/2020/05/antropocosmis-ramadhan.html