Antara Studi Islam di Barat dan Timur

Oleh Annas Rolli Muchlisin, Mahasiswa Program Master di University of Toronto Canada

[Tulisan ini merupakan] respon terhadap Gus Muhammad Nora Burhanuddin tentang Studi Islam di Barat tidak Bermetodologi.

Status Fb saya beberapa hari lalu “Berbahayakah Studi Islam di Barat?ditanggapi dengan sangat baik oleh Gus Nora. Saya senang dengan diskusi seperti ini, tidak seperti beberapa pihak yang sudah mengarah ke perdebatan kurang sehat. Satu kubu menyebut studi Islam di Barat hanya membawa pulang syubhat, satunya lagi menuduh studi di Timteng mirip majelis taklim. Ini jelas distorsi besar-besaran (semoga kita terhindar dari mengucapkan klaim-klaim yang menggeneralisir seperti itu) karena studi baik di Barat dan Timteng memiliki kompleksitas masing-masing yang tidak mungkin cukup digambarkan dengan tuduhan seperti itu.

Posisi yang saya ikuti (siapalah saya ini, hanya penikmat senja dan gorengan angkringan Jogja) adalah integrasi berbagai macam tradisi pengetahuan. UIN Sunan Kalijaga, tempat kami menyelesaikan S1 dulu, sudah lama mengkampanyekan integrasi-interkoneksi, begitu juga IAIN/UIN lainnya. Dosen kita ada alumni Timteng, begitu juga Barat.

Dan kita tidak boleh lupa, para sarjana di Indonesia juga mengembangkan model kajian yang khas. Tafsir-tafsir ulama Nusantara (yang barangkali tidak terlalu diperhatikan di luar negeri) semakin banyak dipelajari, gerakan semacam Nahdlatut Turats mencuat, fenomena sosial-keagamaan di desa-desa terpencil diteliti, dst.

Saya tuliskan ini untuk menggarisbawahi bahwa keilmuan bukan hanya milik Barat dan Timur sebagaimana diributkan di laman facebook. Ia ada di mana saja dan tiap tempat punya kekhasan masing-masing. Karena adanya pluralitas pengetahuan seperti itu, cara paling baik – menurut subjektif saya – adalah mengikuti apa yang Prof. Joseph Lumbard, dosen di Hamad bin Khalifa University (Qatar) istilahkan “trans-modern Islamic studies”, yaitu upaya mendialogkan berbagai epistemologi pengetahuan yang berbeda secara setara tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari yang lain.

Dengan sikap pengakuan atas pluralitas pengetahuan seperti itu, kita bisa mengapresiasi sekecil apa pun kontribusi dalam ilmu pengetahuan, meski hanya satu huruf. Kita akan terhindar mengucapkan “hasil penelitian Barat tidak ada yang baru” atau “metodologi Barat soal turats tak bermetodologi sama sekali.” Ini adalah klaim besar. Saya doakan semoga gus Nora suatu saat diberi kesempatan oleh Allah merasakan studi di Barat barang satu semester. Seringkali kita bisa paham bukan karena membaca, tapi merasakan langsung.

Saya ingin memberi satu contoh lagi penelitian studi tafsir di Barat meneruskan contoh yang pertama. Tafsir al-Kasyaf adalah yang paling populer dipelajari dalam kurikulum madrasah di abad pertengahan, dibuktikan dengan banyaknya jumlah manuskrip, hasyiyah dan mukhtasarnya. Tetapi, otoritas al-Kasyaf mulai dipertanyakan pada abad 9 H/15 M di Kairo. Salah satu latang belakangnya adalah kontroversi al-Biqai. Imam al-Biqai adalah penulis tafsir Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar yang dalam tafsirnya mengutip terjemahan Bibel dalam bahasa Arab. Dalam file pdf tafsirnya yang saya punya di halaman 263, ia menulis

ورأيت في ترجمة للتورة

Keberanian imam al-Biqai dalam mengutip Bibel untuk menafsirkan al-Qur’an ini sontak memancing reaksi dari berbagai ulama. Untuk membela diri, al-Biqai menulis risalah al-Aqwal al-Qawimah fi Hukm al-Naql min al-Kutub al-Qadimah yang berisi sebagian pandangan ulama yang melegitimasi keabsahan metodenya. Salah satu argumen al-Biqai yang masih saya ingat adalah menurut beliau, mengutip Bibel untuk tujuan data historis dan mau’izah hasanah (nasihat yang baik) adalah diperbolehkan, sebagaimana mengutip hadis daif untuk tujuan fadail al-a’mal. (Note: di sini saya tidak membenarkan atau menyalahkan imam al-Biqai karena sekali lagi saya bukan ustadz, saya hanya calon peneliti yang mengamati).

Selain menulis risalah tersebut, al-Biqai melancarkan kritik kepada ulama lainnya yang mempelajari al-Kasyaf. Tafsir al-Zamakhsyari ini, menurut al-Biqai, memuat banyak persoalan teologis yang tidak sesuai dengan pandangan Asy’ariyah. Dengan latar belakang ini (salah satunya), para ulama pun beralih ke tafsir Anwar al-Tanzil karya imam al-Baidhawi yang kemudian menjadi sangat populer. Akan tetapi pada era modern, otoritas tafsir al-Baidhawi digantikan oleh tafsir Ibn Katsir yang percetakan dan penerjemahannya disokong oleh gerakan salafisme global.

Kita tahu bahwa ibn Katsir adalah murid ibn Taimiyyah. Silakan baca muqaddimah tafsir ibn Katsir yang banyak mengutip Muqaddimah fi Ushul al-Tafsirnya ibn Taimiyyah secara verbatim. Yang tertarik ingin mengetahui ini lebih detail, silakan baca hasil riset Walid Saleh, Johanna Pink, Samuel Ross, dll.

Itu adalah contoh penelitian studi tafsir di Barat. Apakah tidak ada yang baru dan tidak bermetodologi sama sekali? Biarlah pembaca menilai sendiri.

Atau sebenarnya kita memahami kata “baru” itu sendiri secara berbeda lalu bertengkar atas perbedaan definisi itu? Mungkin bagi Anda, baru adalah menemukan 100% sesuatu yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Bagi kami di dunia penelitian, tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baru di bawah kolong langit ini karena penelitian kita berpijak di atas penelitian orang-orang sebelumnya. Istilah bekennya “standing on the shoulders of the giants“. Baru bagi kami definisinya sangat cair. Mensintesiskan karya yang berserakan, memahami fenomena lama dengan perspektif yang berbeda, mengamati fenomena yang terpinggirkan dll adalah hal yang bisa disebut “baru”. Yang sudah belajar metodologi penelitian di kampus pasti paham betul soal ini.

Oh iya, yang hendak membaca contoh penelitian studi Islam di Barat lainnya, silakan baca status fb saya tanggal 30 Oktober 2021 berjudul “Islamicate Digital Humanities: Model Baru Studi Islam Kontemporer?.” Ini juga contoh yang sangat menarik, dan telah dikomentari dan dibagikan banyak orang juga.
Linknya klik di sini:

Terakhir, kawan-kawan tidak perlu mencurigai kami yang studi Islam di Barat. Kami tidak dididik untuk menyebarkan syubhat. Kami hanya ingin menjadi peneliti.
Salam untuk semuanya

Bagikan tulisan ke: