Adu Konsep Pemikiran Tentang Ego: Antara Sigmund Freud dan Al-Ghazali 

Konsep pemikiran Sigmund Freud mengenai psikoanalisa adalah ikhtiar manusia Barat di saat filsafat eksistensialisme sedang merajai dunia. Konsep mengenai alam bawah sadar yang cenderung bersifat liar dikategorikan sebagai naluri hewani yang ada pada diri manusia, dan disebutnya sebagai “id”. Fase berikutnya adalah “ego”, yakni kesadaran akan kemanusiaan, di saat hal-hal negatif yang tak layak dari alam bawah sadar manusia, perlu dikesampingkan.

Namun demikian, Frued menarik kembali potensi-potensi insting dan naluri hewani, sebagai kekuatan menakjubkan yang bisa dicapai oleh kasadaran manusia, hingga mencapai fase “super ego”. Jadi, fase kesuksesan dan keberhasilan manusia bisa dicapai dengan menggabungkan unsur ketidaksadaran (hewani) dan unsur kesadaran (manusiawi), untuk mencapai fase manusia unggul. Tetapi, konsep ini tentu bersifat Barat-sentris yang dibangun dari puing-puing abad kegelapan, sebagai antitesis dari pandangan kaum agamawan (Gereja) yang ortodoks dan konservatif.

Pemikiran Freud sangat terbatas untuk lebih memasuki kualitas hidup bahagia, yang kemudian seorang muridnya, Carl Gustav Jung menawarkan konsep psikologi analitis, bahwa agama yang kontekstual dan pemahaman ketuhanan yang bersifat esoterik dapat menjawab kegamangan dan kegersangan manusia hiper modern. Pada konteks inilah Jung menarik benang-benang merah dari konsepsi agama (Kristiani) yang mengajarkan hidup bersahaja berdasarkan teladan Nabi Isa, yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai zuhud, termasuk juga konsep ketakwaan dan  “melawan hawa nafsu”. Tetapi, jauh sebelum era psikoanalisa Freud, seorang ulama dan filosof muslim, Al-Ghazali sudah memasuki pemikiran yang melampaui banalitas manusia hiper modern, kemudian dengan jitu merumuskannya.

Nafsu hewani yang tak mampu dikendalikan itu tak lain sebagai “nafsu al-ammarah”, yang dalam konteks tertentu dapat membawa manusia kepada sifat-sifat yang lebih keji dari binatang buas. Dalam nafsu ini terkandung hasrat dan ambisi manusia akan kekuasaan, keserakahan, dengki, irihati, ingin menang sendiri, gila pujian dan penghormatan, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang, dan seterusnya.

Tapi, jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, maka ia akan dimudahkan untuk memahami segala sesuatu. Oleh karena itu, Rasulullah menegaskan pentingnya seseorang untuk terampil membaca kekurangan dirinya ketimbang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain. Sebab, orang yang disibukkan melihat kekurangan diri, ia akan tertutup kemungkinan untuk melihat aib dan kejelekan orang lain. Dengan demikian, pandangannya selalu “berhusnudzon” kepada rencana Tuhan, juga kepada makhluk-makhluk Tuhan. Tetapi sebaliknya, mereka yang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang, boleh jadi akan tertutup mata-hatinya untuk melihat segala kekurangan yang ada pada dirinya.

Baca juga:  Makrifat Realitas Diri atas Langit (2)

Konsep inilah yang ditegaskan Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam karya “hikamnya”, bahwa orang yang dikasyafkan (dibukakan hatinya) untuk melihat kekurangan diri, jauh lebih mulia ketimbang mereka yang dikasyafkan pada alam-alam gaib di sekelilingnya.

Lalu, ketika seseorang telah dikasyafkan akan kekurangan dan kekhilafannya, muncullah kesadaran diri bahwa manusia memang bersifat lemah dan terbatas. Pada fase ini, meningkat kepada nafsu “al-lawwamah”, bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan di masa lalu akan mengantarkan kesadaran manusia pada penyesalan, introspeksi diri, kemudian menjalani proses perubahan ke arah positif yang membawa maslahat bagi dirinya dan orang lain. Akan tetapi, jika nafsu al-ammarah yang dikedepankan, justru manusia akan semakin terperosok ke jurang yang lebih dalam lagi, akibat dari kesalahan yang telah diperbuatnya.

Untuk itu, setelah muhasabah dan dikasyafkan segala kekurangan dan kelemahan diri, maka berhentilah membuat lubang-lubang galian yang akan membuat Anda terus-menerus terperosok. Lebih baik menghindari kesalahan, daripada Anda terus-menrus berkubang dalam dosa, kemudian bertobat, lalu kembali melakukan kesalahan yang sama, kemudian bertobat lagi dan seterusnya.

Dalam terminologi agama, kehidupan yang hedonis dan menuruti kesenangan sesaat, identik dengan keterjebakan manusia ke dalam lorong-lorong kegelapan. Hal ini selaras dengan tesis Jonathan Haidt, yang menegaskan bahwa seorang mistikus dan kaum sufi merasa tidak silau dengan materi dan kehidupan hedonistik. Haidt mengambil teladan dari Sidharta Gautama, yang pernah menyatakan bahwa kebahagiaan itu berasal dari dalam hati dan kalbu manusia. Meski menurut sebagian generasi milenial, suasana dan kondisi kebatinan, tidak selalu menjadi sumber utama untuk mencapai fase kebahagiaan hidup. Karena bagaimanapun, toh Sidharta pernah menikmati masa-masa kesenangan dan kenikmatan hidup di dalam istana. Sampai kemudian, ia mencapai fase kesadaran (al-lawwamah), bahwa segala aksesoris duniawi, makanan lezat, hingga jabatan tinggi, bukanlah sumber utama yang menyebabkan pikiran dan perasaan dapat terkoneksi dengan kesejatian.

Baca juga:  Peranan Tarekat di Dunia Politik: antara Tarekat Safawiyah di Iran dan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia (2)

Jadi, perlu juga melewati fase “kemakmuran awal” yang bersifat badaniyah dan aqliyah. Konsep inilah yang digagas Al-Ghazali dalam karyanya “Kimiya as-Sa’adah”, bahwa fase kesenangan dunia atau kemakmuran awal, merupakan satu-kesatuan dalam pencapaian kualitas kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Dalam konteks ini, Rasulullah pernah memperingatkan bahwa kefakiran dan kemiskinan, akan mudah menggelincirkan manusia ke dalam kekufuran (kesesatan). Kita pun bisa memahami, meskipun Muhammad muda berusia 25 tahun punya hak untuk menolak Khadijah, janda yang sudah menginjak 40 tahun. Namun, wanita dewasa yang cerdas dan matang itu, seakan terbaca oleh pengamatan Muhammad, bahwa ia telah tercukupi segala-galanya, dengan demikian telah melampaui fase kemakmuran awalnya.

Di sisi lain, Al-Ghazali menandaskan, bahwa kecerdasan akal adalah bagian dari jiwa manusia yang harus dipenuhi nutrisinya dengan ilmu yang berkualitas. Jika banyak hal dalam hidup ini yang tidak dipahami, manusia akan cenderung galau dan tidak tenang. Akal pikiran manusia, perlu dipenuhi gizinya dengan banyak menuntut ilmu, agar terampil memahami segala sesuatu.

Fase kemakmuran awal lebih bersifat badaniyah, seperti kecukupan sandang, pangan, beristri atau bersuami, berkeluarga, berbadan sehat, hingga memiliki kedudukan dan popularitas. Akan tetapi, segala kesenangan yang bersifat hewani (id) tidak ada batasnya, jika tidak dibatasi oleh kesadaran diri. Maka, nafsu al-lawwamah ibarat rem kendaraan yang pakem, di mana manusia harus terampil mengolah dan mengendalikan dirinya agar tidak kebablasan.

Kita butuh harta, butuh istri dan keluarga, bahkan kita pun butuh diakui dan dihormati. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa semuanya itu tidak bersifat abadi, karena hakikatnya hanya Allah-lah yang sesungguhnya layak dipuji dan diagungkan. Jika sampai pada fase kesadaran ini, bahwa semua yang dimiliki hanya titipan, bahwa semua hanyalah milik Allah semata, maka derajat manusia untuk mencapai fase nafsu “al-muthmainnah” akan terasa mudah dan ringan.

Betapa banyak orang menderita di era milenial ini, karena disibukkan oleh tampilan merek, seakan-akan segala aksesoris itu lebih berharga daripada dirinya. Betapa banyak orang diperbudak oleh hasrat keinginan duniawi, hingga mereka selalu galau, nelangsa dan kehilangan harga dirinya. Meminjam istilah yang sering dipakai Abdullah Gymnastiar, bahwa konsep zuhud tidak identik anti dunia dan skeptis pada kebutuhan materi, tetapi nilai dan harga diri manusia jangan sampai diperbudak oleh hasrat dan keinginan duniawi yang materialistik dan meninabobokan.

Baca juga:  Menjadikan Sedekah Jenazah Sebagai Sedekah Terakhir Manusia

Kekayaan sebanyak apapun takkan ada nilainya jika tidak disertai keberkahan. Untuk itu, pemikir sekelas Einstein nampaknya telah sampai kepada konsep spiritualitas ini, bahwa hidup sederhana dan bersahaja, jauh lebih baik ketimbang kesibukan mengejar target kesuksesan (hiper modern), bersama segala keruwetan yang akan terus-menerus menyertainya.

Lebih lanjut menurut Al-Ghazali, fase nafsu al-muthmainnah dapat mengantarkan manusia pada kelapangan hati yang bersifat taufiqiyah. Artinya, kita harus menyadari bahwa kemakmuran awal yang kita peroleh selama ini tak lain sebagai karunia Allah yang diberikan kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Inilah yang membedakan anugerah dari segala keberhasilan yang bersifat istidraj (juggernaut). Karena, kenikmatan dan kesuksesan sehebat apapun akan menjadi “bom waktu” jika Allah tidak meridhoinya.

Sebab, dasar dari kebahagiaan sejati adalah kenikmatan hidup yang disyukuri, dan bersifat taufiqiyah. Tidak membuat penikmatnya selalu dipusingkan oleh keruwetan yang menyempitkan hati dan pikiran.

Rasa syukur atas kenikmatan itulah yang membuat manusia bersikap humanis dan rendah-hati kepada sesamanya, serta rendah-diri di hadapan Tuhannya. Sifat-sifat malakut telah melekat dalam dirinya, sehingga bujuk-rayu setan dan iblis (yang terbuat dari api) senantiasa akan menghindar dan menjauh darinya. Kekuatan api hanya akan terkoneksi dengan sifat-sifat manusia yang takabur, angkuh, dan selalu menyombongkan dirinya.

Sedangkan, orang yang tenteram jiwanya, kehadirannya senantiasa membuat orang merasa aman dan nyaman, karena ia telah selesai dengan dirinya, dengan demikian akan mudah membahagiakan sesamanya.

Jadi pada prinsipnya, Al-Ghazali menekankan keselarasan antara duniawi dan ukhrawi, sebagaimana kesejajaran antara kebutuhan badaniyah dan nafsiyah. Kita harus proporsional memberikan nutrisi bagi kebutuhan fisik dan rohani, baru kemudian tercipta ketenangan dan kenikmatan jiwa (muthmainnah) yang akan mudah mencapai ending secara husnul khatimah. Setelah itu, kita pun akan ringan dan dimudahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Insya Allah. (*)

 

https://alif.id/read/haz/adu-konsep-pemikiran-tentang-ego-antara-sigmund-freud-dan-al-ghazali-b247644p/