Adab Seorang Santri

Laduni.ID, Jakarta – Sebagai orang yang sedang menuntut ilmu, santri diwajibkan untuk menjaga diri dari segala hal yang membuat Allah murka yang menyebabkan diangkatnya ilmu dari dirinya. Keberkahan dan kebermanfaatan ilmu yang didapat tergantung seberapa besar ia menjaga adab sebagai seorang santri, dalam Muqaddimah Majmu’ Syarah Al-Muhadzab disebutkan beberapa hal yang menjadi adab seorang santri.

Fokus Menggapai Ridha Allah SWT

Tidak untuk mendapatkan perkara duniawi, seperti kekayaan, jabatan, ketenaran, atau tujuannya hanya ingin mengungguli teman sekelasnya. Disinilah pentingnya untuk terus memperbaharui dan menata niat setiap saat, karena lautan tidak selalu tenang, terkadang angin merubah arah haluan.

Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i memberikan teladan dalam ucapan beliau, “Saya ingin, semua orang yang belajar ilmu ini untuk tidak menisbatkan satu huruf pun kepada saya”.

Bersikap Baik

Menjaga perilakunya dengan senantiasa bersikap dengan sikap yang baik. Mulai dari hal yang mudah, dengan memperlihatkan wajah yang ramah, ringan tangan dalam membantu teman seperjuangan, bersabar atas perilaku yang kurang menyenangkan, dan mengurangi banyak bercanda.

Menjaga Diri dari Penyakit Hati

Menata hati agar tidak ternodai dengan penyakit hasad, riya, bangga dengan diri sendiri, atau memandang remeh orang lain. Kata Imam Nawawi, penyakit ini yang paling banyak menimpa santri yang tidak bisa menjaga hati.

Imam Nawawi memberikan solusi, untuk menyembuhkan penyakit riya, seseorang harus yakin bahwa makhluk tidak akan bisa memberikan ia keuntungan maupun kerugian, jadi untuk apa beribadah dengan tujuan mendapat perhatian mereka?! Jadi, jangan membuat diri lelah demi perhatian mereka. Badan sudah lelah belajar, perhatian dari makhluk tidak didapat, pahala jatuh berguguran, dan mendapatkan murka Allah, rugi jika penyakit riya ini terus menempel di hati.

Adapun penyakit berbangga dengan diri sendiri, kata Imam Nawawi, seseorang harus yakin bahwa semua yang diberikan oleh Allah, baik itu ilmu, harta atau apapun itu, semuanya merupakan karunia Allah. Manusia hanya meminjam untuk digunakan sementara, Allah bebas untuk memberi apapun dan mengambil apapun, semuanya adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh seseorang berbangga dengan barang yang ia tidak pernah miliki.

Sedangkan pandangan yang meremehkan orang lain, kata Imam Nawawi, ia harus belajar adab yang diajarkan Al-Quran. Dalam Al-Quran Allah menyebut yang paling mulia adalah orang yang bertakwa.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

Dalam ayat lain Allah menyebutkan bahwa hanya Allah yang mengetahui siapa yang paling bertakwa,

هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ

Artinya: “Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Karena kita tidak tau siapa yang paling bertakwa, bagaimana bisa kita memandang orang lain dengan pandangan remeh? Bukankah akhir kehidupan setiap orang masih misteri? Bisa jadi yang hari ini bermaksiat berakhir dengan amal shaleh, bisa jadi juga yang hari ini sibuk beribadah hidupnya berakhir dengan maksiat. Semoga Allah berikan kita akhir yang baik.

Menjalankan Sunah

Senantiasa menjaga zikir yang diajarkan oleh syariat, mulai dari tasbih, tahlil, maupun shalawat. Karena tidak dipungkiri, bahwa ilmu akan lebih bercahaya dengan zikir. Al-Habib Lutfi bin Yahya mengatakan bahwa shalawat akan menjadikan ilmu semakin terang. Ini bisa dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi yang membaca 20.000 Shalawat dalam semalam. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami membaca 15.000 Shalawat dalam semalam, sehingga ilmu para ulama tersebut terus bercahaya hingga saat ini.

Selain soal intelektualitas yang berkaitan dengan pengetahuan yang luas dan pemahaman yang dalam, seorang santri juga harus berkaitan dengan spiritualitas yang kuat, dengan ibadah yang rajin, dan membersihkan hati dari penyakit. Disinilah pentingnya bermujahadah, agar ilmu yang banyak juga diiringi dengan hati yang bersih.

Bersikap Muraqabah

Senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muraqabah) baik dalam keramaian maupun kesunyian. Sebagaimana nasihat Syekh Umar Al-Khatib, setiap santri yang mengambil cahaya dari para ulama, berarti dia memikul amanat untuk menjaga cahaya tersebut dengan tidak bermaksiat. Jika orang sudah merasa diawasi oleh Allah, maka ia akan sangat sulit untuk bermaksiat.

Menjaga Kehormatan Ilmu

Menjaga kehormatan ilmu dengan tidak pergi ke tempat-tempat yang dirasa tidak menggambarkan sosok seorang santri. Namun, jika seandainya ada kebutuhan yang mendorong untuk pergi ke tempat tersebut, maka itu dapat ditoleransi.

Menjadikan Ilmu sebagai Prioritas

Tidak menduakan ilmu dengan kegiatan lain yang dapat menganggu waktu belajarnya. Seandainya memang terpaksa, maka ia harus melakukan kegiatan itu setelah kewajiban belajarnya usai ia tunaikan.

Rajin Menulis

Berusaha untuk menulis jika ia mampu. Karena dengan menulis, ia akan berusaha lebih kuat untuk membaca, mengulang, berdiskusi, sehingga akan terlihat detailnya ilmu. Masalah-masalah yang belum terpecahkan akan ia temukan jawabannya ketika ia sedang mengulang pelajaran.

Namun, jika ia tidak mampu untuk menulis, lebih baik ia menahan dirinya. Agar tidak memberikan pengaruh buruk terhadap khayalak umum.

Terus Belajar kepada Ulama

Jika ia sudah memiliki nama yang besar, jangan sampai itu membuatnya segan untuk belajar dengan ulama yang tidak terkenal. Misalnya, ‘Amru bin Syuaib bukanlah seorang Tabi’in, tapi lebih dari 70 Tabi’in belajar dengannya.

Diringkas dari Muqaddimah Majmu’ Syarah Al-Muhadzab hal 161-167 dengan beberapa penambahan.

Madinah Bu’uts Al-Islamiyah, Kairo

Oleh: Gus Fahrizal Fadil


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73323/adab-seorang-santri.html