7 Persoalan Masyarakat Dampak dari Tingkat Literasi Rendah

0 0

Read Time:4 Minute, 36 Second

Oleh Ahmad Rusdiana

RumahBaca.id – Indonesia, sebagai negara dengan penduduk terbanyak kelima di dunia disinyalir tergolong negara dengan tingkat literasi yang rendah. Masyarakat dan anak-anak di belahan Nusantara ini tidak gemar membaca, apalagi menulis, berhitung atau berkreasi yang menjadi ciri kuat tingkat literasi suatu masyarakat. Seperti dilansir Riset Central Connecticut State University tahun 2016 menyebut “Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara.

Hasil survei penilaian siswa pada PISA 2015 yang diumumkan pada awal Desember 2016 menunjukkan Indonesia urutan ke-64 dari 72 negara. Kurun 2012–2015, skor PISA untuk kemampuan membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397, sedangkan sains naik 21 poin dari 382 menjadi 403, dan matematika naik 11 poin dari 375 menjadi 386. Hasil itu menunjukkan kemampuan membaca, khususnya teks dokumen pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada pada sepuluh terbawah 9. Sejatinya “Literasi tidak boleh sekadar membaca, sebab ia merupakan kemampuan kompleks” (Muliastrini, 2019). Baca: http://beritadisdik.com/news/kaji/refleksi-hari-lietrasi-internasional-20022.

PISA merupakan sistem ujian yang diinisasi oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya. Tema survei digilir setiap 3 tahun, tahun 2015 fokus temanya adalah kompetensi sains.

Terungkap pula bahwa 64 persen taman bacaan di Indonesia hanya dikunjungi tidak lebih dari 30 anak pembaca pada setiap jam baca. Ada 7 persen taman bacaan dengan 1-5 anak, 15 persen dengan 6-10 anak, 42 persen dengan 11-30 anak. Sedangkan taman bacaan dengan 31-50 anak hanya sekitar 18 persen, dan taman bacaan dengan lebih dari 50 anak hanya 18 persen. Survei ini menjadi sinyal kuat bahwa tradisi baca dan budaya literasi di masyarakat Indonesia tergolong rendah. Kondisi ini pun menegaskan kian kuatnya pengaruh tontonan televisi dan gawai di kalangan anak-anak (Syarifudin, 2019).

Lebih dari itu, ke depan, realitas tingkat literasi yang rendah kian menyulitkan. Mengingat gempuran era digital yang telah mengubah gaya hidup manusia makin menjauhkan manusia dari buku. Karena itu, kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah penting, karena untuk memacu tingkat literasi yang sangat diperlukan. Bila tidak, bangsa ini bisa terpuruk akibat sulitnya mencari informasi yang kredibel dan menuliskan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Baik buruk, benar salah dalam kehidupan sungguh hanya bisa dideteksi oleh masyarakat yang literat; masyarakat yang sadar membaca dan menulis. Karena tingkat literasi adalah literatur si pribadinya dalam kehidupan.

Masyarakat yang tidak literat pastinya akan jadi “makanan empuk” bagi era revolusi industri 4.0 yang bertumpu pada otomatisasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan. Hanya masyarakat yang literat yang mampu jadi “pemain” di era digital. Sementara kaum non-literat hanya menjadi “penonton”. Untuk hal itu Syarifudin (2019), mengidentifikasi ada 7 dampak signifikan dari rendahnya tingkat literasi masyarakat, yakni:

  1. Kebodohan yang tidak berujung, sehingga sulit membangun masyarakat tertib dan beradab.
  2. Produktivitas yang rendah, sehingga gagal mengoptimalkan potensi diri dan terlalu bergantung pada orang lain.
  3. Pendidikan tidak berkualitas, sehingga gagal berkontribusi terhadap kemaslahatan umat.
  4. Angka putus sekolah tinggi, sehingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) rendah dan menjadi basis meningkatnya pengangguran.
  5. Kemiskinan yang meluas, sehingga menjadi beban ekonomi dan sulit membangun ekonomi kreatif.
  6. Kriminalitas yang meninggi, sehingga hidup tidak aman dan tidak nyaman serta memperbesar rasa saling curiga.
  7. Sikap bijak yang rendah, sehingga sulit menerima informasi dan perilaku komunikasi yang rentan konflik.

Suka tidak suka, tingkat literasi bangsa Indonesia harus dioptimalkan. Karena bila tidak, persoalan literasi inilah yang akan menjadi sumber masalah. Persis seperti maraknya ujaran kebencian, hoaks, maupun sikap tidak mampu menerima realitas.

“Maka masalah tingkat literasi masyarakat tidak boleh dianggap sepele. Pemerintah dan pegiat literasi harus peduli untuk memacu tingkat literasi masyarakat. Minimal, membangun tradisi baca melalui taman bacaan di tengah masyarakat.”

Literasi tidak boleh dipandang sebatas wacana atau gerakan apalagi diskusi dan seminar. Literasi harus menjadi budaya masyarakat dan mendesak untuk diimplementasikan. Caranya, semua pihak harus terlibat dalam praktik dan perilaku literasi; menjadikan masyarakat dekat dengan aktivitas membaca dan menulis. Hanya masyarakat yang literat, ke depan, yang mampu menghalau laju dinamika peradaban yang kian tak terduga. Di samping mampu memajukan kehidupan dan kebudayaan bangsanya sendiri.

Tumbuh kembang daya kreatif, daya tahan, dan daya saing sebagai individu maupun warga bangsa hanya bisa diraih bila masyarakat literasi sebagai landasannya. Baik buruk, benar salah dalam kehidupan sungguh hanya bisa dideteksi oleh masyarakat yang literat; masyarakat yang sadar membaca dan menulis. Karena tingkat literasi adalah literatur si pribadinya dalam kehidupan. Wallahu A’lam Bishowab.

Penulis:
Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat.

Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui:
(1) http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators.
(2) https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source
(3) https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

1 100 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %