Tentang Arief Budiman

CENDEKIAWAN Aktivis. Itulah julukan yang diberikan para temannya dari berbagai kalangan terhadap Arief Budiman. Lelaki yang bernama lahir Soe Hok Djin ini memang bergerak di lapang itu: sebagai dosen dan aktivis. Kedua gelar yang disandang sepanjang hidup dan kehidupannya.

Sejak muda ia dikenal sebagai esais dengan tulisan-tulisannya tentang sastra di Star Weekly. Meski ia tidak membuat karya sastra seperti puisi, cerita pendek, naskah drama. apalagi novel. Lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan skripsi tentang Chairil Anwar.

Ia bersama beberapa nama seperti Goenawan Mohammad, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, dan lainnya pada tahun 1963 membuat Manifesto Kebudayaan sebagai kontra terhadap sikap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Dikenal sebagai salah satu pendiri majalah sastra Horison. Di mana tulisan-tulisannya dalam ‘Catatan Kebudayaan’ selalu menjadi perhatian pembacanya.

Jika di zaman Orde Lama ia otomatis menjadi musuh pemerintah di zaman itu, demikian pula di zaman Orde Baru yang sempat didukungnya. Apalagi, kalau bukan ia melihat ketidakbenaran di dalamnya, yang membuatnya harus bergerak.

Arief pula yang mencetuskan Golongan Putih pada Pemilihan Umum 1971. Pemilih dipersilakan datang ke Tempat Pemilihan Umum dan masuk ke bilik pemilih. Namun, di dalamnya mencoblos kertas yang berwarna putihnya (bukan gambar partai). Jadi, yang dipilih pun tidak sah alias tidak masuk hitungan pemilu. Istilah Golput pun sampai kini masih terdengar, terutama menjelang pemilu.

Baca juga:  “Burung Kayu”, Novel Etnografis Karya Niduparas Berlatar Mentawai

Ingat Taman Mini Indonesia Indah? TMII yang kini diambil negara menjadi terkenal juga karena protes Arief. Gagasan Ibu Negara, Ny. Tien Soeharto, menurut Arief ini hanya menghambur-hamburkan duit negara yang memang benar adanya.

Kuliah lanjutan di Prancis. Kemudian, mengambil program di Harvard University, Amerika Serikat. Yang ditulisnya dalam sebuah buku. Ia bercerita tentang ekonominya yang sulit, sehingga harus menjadi penjaga malam di kampusnya. Untuk bisa makan enak ia sering pura-pura ngobrol di rumah Nono Anwar Makarim – yang ayah pendiri Gojek, Nadiem Makarim.

Sepulang dari Amerika ia meneruskan aktivitasnya sebagai seorang intelektual dengan menjadi dosen di kampus di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Salatiga. Tentu, ia melakukan pekerjaannya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan sepenuh hati. Bahkan menjadi idola. Sampai kemudian terjadi konflik internal seputar pemilihan rektor. Hal yang membuatnya ‘terlempar’ ke Australia sebagai dosen di Universitas Melbourne.

Yang jelas, selama di UKSW ia juga membuat kegiatan atau protes yang bersifat nasional, yakni ‘pembangunan’ Kedungombo yang memberangus ribuan desa. Belum termasuk dengan masalah Timor Timur dan banyak lainnya. Pendek kata, di mana ada tidakbenaran di negeri ini Arief muncul sebagai penentang.

Ini termasuk saat ia di Melbourne. Ia terus saja menunjukkan perhatiannya terhadap negerinya. Dari sudut pandang seorang humanis. Wajar jika ia kemudian mendapatkan Penghargaan dari Freedom Institute, yang tampak benar ia menyukainya. Seperti diungkapkan Rizal Mallarangeng, penggagas award itu.

Baca juga:  Norman Finkelstein dan Pembelaannya atas Palestina

Buku yang dieditori Hamid Basyaib dan Kuskrido Ambardi ini memang menarik. Wajar jika banyak nama besar aktivis baik di bidang sastra, politik, dan sosial mengisi buku ini. Untuk mengenang kepergian Arief menghadap PenciptaNya. Setelah belasan tahun terserang parkinson pada 23 April 2000 lalu.

Selain Rizal, Hamid, dan Kuskrido; juga Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Vedi Hadiz, Eri Sutrisno, R. William Liddle, Hendrawan Supratikno, Fachri Ali, Luthfi Assyaukani, M. Syafii Anwar, Made Supriatma, Syaiful Mujani memberi kesaksian.

Judul Buku: Mempertimbangkan Warisan Arief Budiman

Editor: Hamid Basyaib, Kuskrido Ambardi

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tebal: 172 halaman

https://alif.id/read/ayps/tentang-arief-budiman-b240017p/